Sosiolog UI Paparkan 4 Faktor Terjadinya Kekerasan di Lingkungan Pesantren

ADVERTISEMENT

Sosiolog UI Paparkan 4 Faktor Terjadinya Kekerasan di Lingkungan Pesantren

Anisa Rizki - detikEdu
Selasa, 20 Sep 2022 10:00 WIB
Ilustrasi Kampus UI, Depok
Kampus UI (Foto: Grandyos Zafna/detikFOTO)
Jakarta -

Pola pengasuhan yang diterapkan di pesantren perlu peninjauan secara kritis. Hal ini diutarakan sosiolog Universitas Indonesia Ida Ruwaida menyikapi kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pesantren. Ia pun memaparkan sejumlah faktor penyebab munculnya kekerasan tersebut.

Ida menyampaikan tindak kekerasan di pesantren pada dasarnya bisa ditemui di institusi pendidikan lainnya. Namun, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama, sontak tindak kekerasan yang terjadi akan lebih disorot.

"Ada kecenderungan bahwa tindak kekerasan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial," ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) itu, seperti yang dikutip dari laman resmi UI, Senin (19/9/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Studi menunjukkan pelaku kekerasan umumnya berlatar keluarga yang akrab dengan kekerasan. Kecenderungan ini bisa terjadi di pesantren, mengingat mayoritas para santri dan santriwati menetap selama tahunan.

Dengan demikian, ketika pesantren menoleransi dan akrab dengan kekerasan, apa pun dalih atau alasannya, termasuk untuk mendisiplinkan santri, maka kekerasan akan menjadi bagian dari keseharian.

ADVERTISEMENT

Oleh karenanya, bukan hanya membudaya, namun kekerasan juga dapat menjadi karakter santri selama menetap di pesantren, bahkan setelah mereka lulus.

Menurut Ida, terdapat ada 4 faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan di lingkungan pesantren. Apa saja? Berikut penjabarannya.

4 Faktor Utama Penyebab Terjadinya Kekerasan di Lingkungan Pesantren

1. Kultur atau tradisi pesantren yang paternalistik

Budaya atau tradisi pesantren cenderung menempatkan sang kiai atau tokoh sebagai figur sentral, rujukan, atau bahkan role model. Kepatuhan tersebut menjadi bagian yang ditanamkan sehingga bersikap kritis akan dianggap menyimpang hingga diyakini menjadi sumber dosa.

Cara pandang ini melandasi terbangunnya pola asuh satu arah, berorientasi pada sang tokoh, dan cenderung otoriter.

2. Adanya anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari media pembelajaran

Sebagian pesantren menggunakan kekerasan sebagai bentuk hukuman bagi para santri yang melanggar aturan. Tujuannya sendiri agar mereka merasa jera. Namun, alih-alih membuat mereka jera, justru hukuman tersebut lebih dikedepankan daripada unsur pendidikannya.

Sehingga, hikmah hukuman tidak dipahami santri. Dengan kata lain, para santri mengikuti aturan bukan karena menyadari dan menghayati arti penting aturan, melainkan karena takut pada hukuman yang diterima jika melanggarnya.

3. Dilema antara rasa solidaritas warga pesantren dengan literasi kemanusiaan

Solidaritas biasanya dimaknai sebagai membela atau mendiamkan kawan meskipun salah bersikap dan berperilaku, termasuk pada pelaku kekerasan.

Oleh karenanya, perlu ada edukasi kepada seluruh multipihak, yaitu pengajar, pendamping, para santri, dan orang tua/wali, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang melahirkan lulusan yang bukan hanya menjadi ahli agama yang religius, melainkan juga seseorang yang bertoleransi positif, berintegritas, dan humanis.

Salah satunya ditandai dengan spirit bahwa pesantren merupakan area yang menolak kekerasan, apapun bentuknya.

4. Minimnya pemahaman tentang keberagaman

Setiap santri memiliki latar belakang sosial ekonomi, wilayah tinggal, watak dan karakter, serta latar budaya yang beragam. Mendidik dan mengasuh santri dengan latar belakang berbeda tentu menjadi tantangan tersendiri.

Perlu dilihat kembali kedudukan dan peran pesantren sebagai institusi pendidikan yang justru berperan sebagai "cross cutting affiliation". Oleh sebab itu, keberagamaan dan sikap inklusif menjadi bagian dari kehidupan pesantren.

Tindak kekerasan di pesantren bisa dihindari dan dicegah karena Islam memiliki spirit anti kekerasan. Pesantren sebagai institusi pendidikan menjadi salah satu agen sosialisasi.

Bahkan, bagi santri yang bermukim bertahun-tahun, apalagi sejak lulus sekolah dasar/sederajat, pesantren menjadi agen sosialisasi primer. Maka dari itu, pola pembelajaran dan pola asuh di pesantren sangat berkontribusi besar pada pembentukan karakter santri.

Tentu berbeda dengan institusi pendidikan non-pesantren yang siswanya berada di sekolah selama 6-10 jam per hari.

"Pesantren merupakan agen sosialisasi antisipatoris karena tidak hanya menyiapkan pendakwah, tetapi juga calon-calon tokoh dan pemuka agama. Oleh sebab itu, pesantren selayaknya mendidik dan mengajarkan para santri agar memiliki jiwa ketokohan atau kepemimpinan yang kuat, tidak goyang karena ombak, tidak lapuk karena zaman, dan tidak lupa akar budaya ke-Indonesiaan-nya. Para santri juga harus mampu mengendalikan emosi, kreatif, mandiri, berintegritas, dan inklusif," ungkap Ida.

Ia menjelaskan, karakter seperti itu hanya bisa dibangun dari pesantren yang tokoh, kiai, guru-guru, dan para pengelolanya mampu menjadi role model atau rujukan bagi anak didiknya.




(pal/pal)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads