Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengkritisi sejumlah hal dalam penerapan kurikulum prototipe. Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo mengatakan, penerapan kurikulum prototipe secara opsional bagi sekolah yang siap atau sekolah penggerak saja saat ini membuat ketidakpastian di tengah masyarakat.
"Dalih Nadiem Makarim justru berpotensi membahayakan pendidikan nasional karena ada ketidakpastian. Sekolah dan masyarakat akan bingung, mana yang lebih baik antara kedua kurikulum itu dan khawatir kalau di sekolah anaknya belum menerapkan kurikulum prototipe", kata Heru dalam keterangan tertulis, Jumat (28/1/2022).
Heru menambahkan, FSGI juga menyoroti anggaran untuk kurikulum prototipe yang besar. Menurut Heru, sebanyak Rp 2,86 triliun digunakan untuk uji coba kurikulum prototipe di 2.500 sekolah penggerak (SP) dan 18.800 Guru Penggerak (GP).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, anggaran uji coba Kurikulum 2013 yakni sebesar Rp 1,46 T untuk 6.326 sekolah dan pelatihan guru secara masif. Anggaran lebih besar diketahui untuk kurikulum prototipe karena sekolah penggerak mendapat dukungan dana khusus.
Wakil Sekjen FSGI Mansur mengatakan, FSGI mendorong pengawasan kurikulum prototipe oleh KPK mulai dari perencanaan, uji coba, uji publik, proses penerapan, sampai monitoring dan evaluasi. Harapannya, uang negara untuk pendidikan berkualitas dan berkeadilan tidak sia-sia.
"FSGI mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawasi penggunaan anggaran kurikulum prototipe yang mencapai hampir Rp 3 T", kata Mansur
Berikut kritik FSGI selengkapnya.
Poin Kritik FSGI tentang Kurikulum Prototipe
1. Status Opsional Dinilai Tidak Tepat
Heru mengatakan, penerapan kurikulum darurat sebagai opsi secara bebas di awal pandemi tidak tepat untuk kurikulum prototipe. Sebab, kurikulum darurat pada dasarnya hanyalah pemilihan materi esensial dari kurikulum 2013 (K-13).
Ia menambahkan, FSGI mendorong Mendikbudristek Nadiem Makarim menetapkan kurikulum prototipe untuk seluruh sekolah di Indonesia per 2022 dengan kajian akademik memadai dan dasar peraturan perundang-undangan. Heru menjelaskan, penetapan ini mengantisipasi potensi kurikulum prototipe dibatalkan dan merugikan keuangan negara.
"Konsep Pendidikan dan implementasi kurikulum prototipe yang telah dirancang oleh Kemendikbudristek ini sebenarnya memberikan harapan besar sekaligus tantangan yang sangat kompleks pada perubahan kebijakan pendidikan menuju paradigma baru. Namun jika diberlakukan secara opsional, maka efektivitas dan keberlanjutannya tidak akan maksimal," kata Heru.
2. Butuh Uji Publik Memadai dan Transparan
Heru mengatakan, FSGI juga menilai penerapan dan uji publik kurikulum prototipe tidak memadai dan butuh transparansi lengkap dengan naskah akademik komprehensif. Dengan demikian, sambungnya tidak muncul dugaan kurikulum ini hanya dipahami dan dibuat kelompok tertentu untuk diterapkan pada komunitas 'Penggerak' dengan perlakuan khusus saja.
Ia juga menyoroti data monitoring dan evaluasi (monev) K-13 sejak 2019 oleh Kemendikbudristek hingga saat ini belum disampaikan ke publik secara transparan dan akuntabel. Padahal, kata Heru, hasil kajian maupun monev sangat penting dan harus menjadi dasar ilmiah bagi pergantian ataupun perubahan kurikulum 2013.
"Sejatinya kebijakan pendidikan harus jelas, pasti, dan terencana secara sistematis. Bukan berubah-ubah tanpa kajian perencanaan jelas, tidak transparan, sehingga sulit di akses publik. Jangan jadikan guru dan peserta didik sebagai kelinci percobaan kebijakan yang tidak jelas," katanya.
3. Butuh Koordinasi untuk Muatan Pancasila
Heru mengatakan, Kemendikbudristek juga perlu menyegerakan koordinasi terkait mata pelajaran dan muatan terkait Pancasila agar tidak diubah atau dibatalkan pada 2024. Sebab, dasar kurikulum prototipe untuk mencapai profil pelajar Pancasila pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 tahun 2021 mengalami perubahan di PP Nomor 4 tahun 2022 tentang Perubahan SNP.
Ia menjelaskan, perubahan yang mendasar pada pasal 36-37 PP No 4 tahun 2022 yakni adanya penambahan mata pelajaran wajib Pendidikan Pancasila dan muatan terkait Pancasila. Muatan ini dilaksanakan setelah berkoordinasi dengan badan pemerintahan di bidang pembinaan ideologi Pancasila.
4. Perbedaan Jauh dengan K-13
Adapun Wakil Sekjen FSGI Fahriza Tanjung mengatakan, karakteristik kurikulum prototipe punya kerangka dasar dan struktur berbeda dengan kurikulum 2013. Ia menjelaskan, perbedaan kurikulum kedua kurikulum yang dilakukan bersamaan dalam kurun waktu panjang berisiko membuat gap antar sekolah, ketidakpastian, dan beban baru bagi pendidikan nasional.
Ia mencontohkan, Kompetensi Inti-Kompetensi Dasar (KI-KD) dan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) di K-13 diganti jadi Capaian Pembelajaran Tahunan atau Fase di kurikulum prototipe. Kurikulum prototipe juga menggabung IPA dan IPS di SD, menghilangkan istilah jurusan di SMA, dan membuka fleksibilitas guru mendidik sesuai ragam kompetensi siswa.
"Seharusnya tidak boleh berlaku 2 kurikulum yang sangat berbeda dalam kurun waktu yang terlalu lama. Jika berhasil akan menimbulkan gap yang terlalu jauh antar sekolah yang menerapkan kurikulum 2013 dengan yang menerapkan kurikulum prototipe,"kata Fahriza.
"Ini berpotensi menimbulkan kegaduhan, ketidakpastian, dan permasalahan baru, sekaligus beban baru bagi kelanjutan pendidikan nasional," imbuhnya.
Ia menambahkan, FSGI juga menekankan Kemendikbudristek wajib mengadakan perubahan sistem seleksi Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) saat kurikulum prototipe diterapkan. Dengan demikian, uji coba kurikulum prototipe dapat berhasil dan seiring dengan proses pembelajaran dan pengalaman belajar peserta didik.
"Jangan sampai peserta didik dirugikan. Karena saat ini seleksi PTN masih berbasis kognitif semata," jelasnya.
(twu/pal)