Riset: Sebanyak 60 Juta Anak Tidak Bersekolah, Ini Alasannya

ADVERTISEMENT

Riset: Sebanyak 60 Juta Anak Tidak Bersekolah, Ini Alasannya

Anatasia Anjani - detikEdu
Senin, 03 Jan 2022 07:00 WIB
Children often suffer food poisoning due to poor hygiene in kitchens and occasionally sub-standard food (AFP Photo/Biju Boro)
Foto: AFP Photo/Biju Boro
Jakarta -

UNESCO pada 2019 lalu melansir data dari sebanyak 787 juta anak usia sekolah dasar di dunia, 8 persen tidak bersekolah. Artinya hampir 60 juta anak tidak memiliki kesempatan untuk membaca dan menulis.

Penjabarannya yaitu di Asia Selatan sebanyak 12,8 juta anak tidak bersekolah. Sebanyak 2,7 juta anak di Anak di Timur Tengah, Afrika Utara, Amerika Latin, Karibia, Eropa, Asia Tengah tidak bersekolah.

Asia Timur dan Pasifik sebanyak 6,2 juta anak tidak bersekolah dengan persentase sebesar 3 persen. Sedangkan di Afrika sebesar 33,8 juta anak tidak bersekolah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Angka tersebut sudah menurun dibanding 20 tahun lalu yang mencapai 16 persen. Angka putus sekolah pada masa lalu umumnya dialami oleh perempuan. Namun untuk saat ini jumlahnya sudah seimbang antara perempuan dengan laki-laki.

Pada awalnya di Afrika dari 41 persen menurun hingga 19 persen, di Asia Selatan dari 23 persen menurun hingga 7 persen, di Timur Tengah dan Afrika Utara dari 16 persen menjadi 5 persen.

ADVERTISEMENT

Di Asia Timur dan Pasifik dari 5 persen menjadi 3 persen. Di Amerika Latin dan Karibia dari 4 persen menjadi 3 persen. Di Eropa dan Asia Tengah dari 3 persen menjadi 2 persen. Di Amerika Utara dari 2 persen menjadi 0,5 persen. Data tersebut diambil dari tahun 1999 dan 2019.

Pada tahun 1999, sebanyak 44,3 juta anak laki-laki tidak bersekolah dan sebanyak 60,5 juta anak perempuan tidak bersekolah. Tahun 2019 sebanyak 27 juta anak laki-laki tidak bersekolah dan 31,5 juta anak perempuan tidak bersekolah.

Mengapa Banyak Anak Tidak Bersekolah?

Melansir dari laman Our World in Data, alasan anak-anak tidak bersekolah salah satunya disebabkan oleh konflik berkepanjangan seperti di Suriah, Yaman, Sudan, dan Nigeria.

Selanjutnya adalah disebabkan oleh kemiskinan. Di negara-negara berpenghasilan rendah, pendidikan bukanlah prioritas. Kemiskinan juga mengharuskan anak-anak untuk bekerja dan umumnya bekerja sebagai petani.

Mereka biasanya melepaskan sekolah atau tidak bersekolah sama sekali.

Untuk mengurangi angka anak putus sekolah kebijakan makro sangatlah penting. Salah satu kebijakan tersebut dapat berupa menyediakan makanan gratis di sekolah. Selain itu juga dapat dilakukan dengan memberikan insentif bagi orang tua agar dapat menyekolahkan anak-anak.

Menurut studi penyediaan makanan gratis di sekolah berdampak bagus karena meningkatkan kehadiran anak di sekolah.

Penelitian yang dilakukan di Swedia menunjukkan anak-anak yang menerima makanan di sekolah pada tahun 1960 memiliki pendapatan seumur hidup 3% lebih tinggi.

Alasan kedua mengapa banyak anak yang tidak bersekolah karena peluang untuk mendapatkan pendidikan sangat kecil karena adanya ketimpangan.

Mayoritas anak hidup tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Dalam tingkat kemiskinan yang tinggi, anak-anak dengan potensi besar hidup dalam kemiskinan. Bahkan keterampilan pendidikan seperti membaca dan menulis hanya dimiliki oleh sekelompok elite.

Tingkat keberhasilan pendidikan diukur dari literasi. Menurut data dua puluh tahun lalu hanya 1 orang dari 10 orang yang memiliki kemampuan membaca dan menulis.

Saat ini sebanyak 9 dari 10 orang memiliki kemampuan membaca dan menulis.

Agar angka putus sekolah dapat berkurang dibutuhkan adanya tim yang kuat dari orang-orang terpelajar.

Saat ini terdapat 4,6 miliar orang yang dapat membaca menulis. Sedangkan pada tahun 1800 sebanyak kurang dari 100 juta orang memiliki kemampuan membaca dan menulis.




(atj/atj)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads