Relasi geopolitik Amerika Serikat (AS)-China yang sedang perang dagang berdampak pada sektor pendidikan. Calon mahasiswa baru (maba) China kini berubah haluan, mengurangi melirik kampus di AS dan beralih ke Asia saja. Selain 'lebih dekat dari rumah' tentunya.
Secara statistik, menurut United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), China menyumbang mahasiswa internasional terbesar di dunia. Per 2023, ada 1 juta mahasiswa China belajar ke luar negeri, demikian dilansir dari Fortune, dikutip dan ditulis Kamis (11/12/2025).
Sudah lama, calon maba China dan keluarganya survei calon-calon kampus tempat belajar mereka di Barat. Kegiatan survei bareng keluarga ini membuat kampus-kampus top di Barat, seperti Oxford dan Cambridge di Inggris, atau Harvard dan Yale di AS menjadi tempat wisata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun trennya kini bergeser, calon-calon maba dari China kini lebih melirik ke kampus-kampus di Asia, yang dalam pemeringkatan dunia seperti Times Higher Education (THE) dan Quacquarelli Symonds (QS) sudah mulai merajai dan menyamai kampus-kampus Barat. Dampaknya, kampus-kampus di Asia kini jadi tempat wisata.
Menurut data UNESCO, jumlah mahasiswa China yang datang ke AS turun 20% antara tahun 2018 dan 2023. Diperparah lagi dengan 'memanasnya' perang dagang kedua negara setahun terakhir.
Tren Mulai 2024
Tren ini pertama kali muncul pada awal tahun 2024, ketika kelompok-kelompok turis China mulai muncul di kampus-kampus universitas di destinasi wisata Asia Timur hingga Asia Tenggara. Sebut saja Korea Selatan, Hong Kong, dan Malaysia masing-masing melaporkan pertumbuhan 17%, 82%, dan 273% dalam tingkat pendaftaran mahasiswa asal China daratan periode 2018-2023.
Singapura, dengan mayoritas penduduk etnis China, adalah destinasi utama dalam pilihan ini. Media lokal negara tetangga Indonesia itu memperkirakan hampir setengah dari mahasiswa internasional di kota itu berasal dari China.
Selain Singapura, ada Korea Selatan. Kampus-kampus di negara tetangga China seperti Ewha Women's University di Seoul juga dipenuhi turis calon maba beserta keluarganya.
"Wisatawan tertarik oleh lanskap kampus dan lingkungan sekitarnya, yang menampilkan budaya anak muda Korea," kata Jung Jisun, seorang profesor madya dari Hong Kong University (HKU).
Kawasan otonom China, Hong Kong, tak luput dari fenomena ini. HKU, kampus tertua di Hong Kong, menarik perhatian turis calon maba dan keluarganya karena bangunan-bangunan bersejarahnya, yang mengingatkan pada arsitektur kolonial Inggris. Bangunan-bangunan tersebut telah menjadi viral di Xiaohongshu, aplikasi media sosial China yang populer di kalangan wisatawan China.
Jadi Sumber Cuan hingga Rekrut Mahasiswa Relawan
Bila banyak turis calon maba dan keluarganya berbondong-bondong survei kampus, coba tebak apa yang terjadi pada kampus? Yak, operasional kampus terganggu. Lalu lintas dalam kampus macet hingga berpengaruh ke layanan bus dalam kampus. Kantin-kantin kampus dipenuhi turis, dan kelas-kelas jadi bak akuarium yang diintip para turis itu.
Akhirnya, pihak kampus mengambil sikap untuk mengatur jumlah turis dalam kampus. Ada yang menjadikannya cuan sekalian seperti HKU di Hong Kong dan Nanyang Technological University (NTU) di Singapura. Turis harus mendaftar terlebih dahulu dan membayar biaya masuk sebelum menginjakkan kaki di kampus. HKU, misalnya, mengenakan biaya kepada pengunjung sebesar 140 dolar Hong Kong ($18 sekitar Rp 38.591) untuk tur berpemandu kampus selama 90 menit.
National University of Singapore (NUS) memilih sikap yang terkontrol namun ramah terhadap wisatawan. Pada awal tahun 2025, universitas tersebut melatih lebih dari 70 mahasiswa untuk melakukan tur berpemandu bagi wisatawan. Mereka juga membangun pusat pengunjung pada akhir tahun 2024 untuk memberi mereka 'pengalaman yang bermakna dan menarik'.
Meskipun langkah-langkah ini telah membantu mengendalikan arus pengunjung, beberapa akademisi, seperti Jung, khawatir bahwa langkah-langkah tersebut mungkin terlalu jauh dalam membatasi akses ke ruang publik di kampus.
"Saya prihatin tentang peran universitas negeri dan hubungannya dengan komunitas lokal. Universitas negeri dimaksudkan sebagai ruang terbuka untuk publik, karena dioperasikan dengan uang pembayar pajak lokal-dan orang-orang harus memiliki akses ke kampus dan merasa terhubung dengan universitas," demikian Jung mengungkap kekhawatirannya.











































