Pedang Bermata Dua Aturan Diskualifikasi Calon Mahasiswa Tukang Bully di Korsel

ADVERTISEMENT

Pedang Bermata Dua Aturan Diskualifikasi Calon Mahasiswa Tukang Bully di Korsel

Novia Aisyah - detikEdu
Jumat, 14 Nov 2025 19:30 WIB
Students wait for the start of the annual college entrance examinations at an exam hall in Seoul on November 17, 2022. (Photo by HEO RAN / POOL / AFP) (Photo by HEO RAN/POOL/AFP via Getty Images)
Suneung/ujian masuk perguruan tinggi di Korsel. Foto: POOL/AFP via Getty Images/HEO RAN
Jakarta -

Universitas-universitas di Korea Selatan kini mempertimbangkan riwayat tindak kekerasan dalam penerimaan mahasiswa baru. Namun, hal ini ternyata juga memicu kekhawatiran di kalangan akademisi.

Ada akademisi yang menilai, hal itu dapat meningkatkan ketimpangan.

Pemerintah Korea Selatan memang akan mewajibkan universitas-universitas untuk mengadopsi kebijakan penerimaan mahasiswa baru antiperundungan mulai tahun depan. Namun, banyak institusi telah menerapkan langkah-langkah tersebut sejak dini dan memberikan sanksi kepada pelamar yang memiliki riwayat perilaku buruk pada tahap awal pendidikan mereka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Institusi-institusi terkemuka, termasuk Universitas Nasional Seoul dan Universitas Nasional Kyungpook termasuk di antara yang telah mengadopsi langkah-langkah ini.

The Straits Times melaporkan, data yang diperoleh oleh kantor anggota parlemen Partai Rebuilding Korea, Kang Kyung-sook, menunjukkan enam dari 10 universitas unggulan nasional negara itu menolak 45 pelamar pada penerimaan mahasiswa baru 2025 karena catatan kekerasan di sekolah.

ADVERTISEMENT

Penolakan tersebut mencakup dua pelamar ke Universitas Nasional Seoul dan 22 pelamar ke Universitas Nasional Kyungpook, yang tahun ini menerapkan sistem hukuman berbasis poin untuk menilai pelanggaran.

Kyungpook mengurangi 10 poin untuk pelanggaran level 1 hingga 3, 50 poin untuk level 4 hingga 7, dan 150 poin untuk kasus pemindahan atau pengusiran (level 8 hingga 9). Ke-22 pelamar yang ditolak tersebut gagal memenuhi penalti ini di semua jalur akademik, seni, atletik, dan esai.

"Ini bukan sekadar pelanggaran pribadi. Kekerasan di sekolah merupakan pelanggaran kepercayaan sosial," kata pihak universitas dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Times Higher Education.

"Kami percaya universitas memiliki tanggung jawab untuk menjunjung tinggi nilai-nilai komunitas," ujar kampus.

Peluncuran sistem penalti nasional ini akan menandai perubahan budaya yang signifikan dalam cara Korea Selatan menyikapi disiplin sekolah.

Bullying Perlu Perbaikan Komunal

Profesor madya di Departemen Bahasa dan Sastra Korea di Universitas Yonsei, Theodore Jun Yoo, mengatakan kebijakan tersebut menyoroti urgensi moral dari isu perundungan dan kegagalan sistemik untuk mengatasinya.

Ia mengatakan menolak siswa secara langsung merupakan langkah ke arah yang benar. Namun, ia juga memperingatkan kasus perundungan terus memburuk dan dimulai jauh lebih awal, bahkan di kelas empat.

Yoo mengatakan sekolah sering terburu-buru membentuk komite disiplin hanya untuk menyelesaikan masalah di atas kertas, alih-alih menangani dinamika sosial yang lebih mendalam.

"Hingga lembaga pendidikan mulai memandang perundungan bukan hanya sebagai pelanggaran aturan tetapi sebagai luka sosial yang mendalam yang membutuhkan perbaikan komunal, maka siklus yang merusak ini akan terus berlanjut, yang merugikan semua pihak yang terlibat," jelasnya.

Sebagian Menilai Ini Memperkuat Ketimpangan

Beberapa lembaga sudah mengadopsi sikap tanpa toleransi.

Sepuluh sekolah guru nasional, termasuk yang berada di Gyeongin, Busan, dan Seoul, telah mengumumkan mulai tahun depan, setiap pelamar dengan catatan kekerasan di sekolah terlepas dari tingkat keparahannya akan otomatis didiskualifikasi.

Namun, para pendidik memperingatkan kebijakan tersebut menempatkan universitas pada risiko melampaui peran pendidikan mereka.

Profesor Studi Korea di Universitas Wanita Seoul, David A Tizzard mengatakan meskipun akuntabilitas atas pelanggaran pada masa lalu sangat penting, pengecualian semacam ini dapat memperkuat ketimpangan.

"Pendidikan itu sendiri seringkali merupakan bentuk koreksi yang paling ampuh," ujarnya.

"Mengecualikan kaum muda seperti ini berisiko memperkuat siklus marginalisasi... setiap penilaian berbasis moral atau karakter seharusnya bernuansa, proporsional, dan transparan, alih-alih bersifat menghukum atau absolut," terangnya.

Tizzard menambahkan, kebijakan baru tersebut dapat memperparah ketimpangan jika diterapkan secara tidak proporsional kepada siswa yang kurang beruntung atau mereka yang bersekolah di sekolah dengan budaya pelaporan yang lebih ketat.

Banjir Dukungan Masyarakat

Namun, kebijakan ini ternyata mendapat banyak dukungan. Chang H Kim dari Universitas Xi'an Jiaotong-Liverpool mencatat dukungan publik terhadap langkah tersebut sangat besar.

"Lebih dari 90 persen orang mendukung kebijakan tersebut," ujarnya.

"Kebijakan ini menjadikan universitas bertindak sebagai penjaga moral, yang mengaburkan batasan tradisional tentang tujuan universitas."

Ia memperingatkan perubahan tersebut dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan terhadap kesejahteraan siswa.

"Kebijakan ini bisa menjadi pedang bermata dua," ujarnya.

"Kebijakan ini mungkin membantu para korban merasa lebih aman dan lebih terdukung, tetapi juga dapat menciptakan lingkungan yang penuh kecemasan dan ketidakpercayaan, di mana siswa takut bahwa pertengkaran kecil apa pun dapat meninggalkan bekas permanen di masa depan mereka," bebernya.




(nah/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads