Enam perguruan tinggi di Amerika Serikat (AS) menerapkan penggunaan modul daring untuk menilai pengetahuan wacana sipil calon mahasiswa.
Langkah menilai kesediaan pelamar untuk terlibat dalam 'wacana sipil' ini menurut sebagian akademisi di AS dapat membawa manfaat nyata bagi kampus, meskipun dianggap sebagai upaya untuk 'menenangkan Donald Trump'.
Di sisi lain sebagian akademisi AS lain khawatir, menambah kerumitan pada proses penerimaan akan menghasilkan kegagalan mengubah keadaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diperkirakan untuk Mengurangi Agresivitas Trump
Pada proses penerimaan untuk tahun akademik mendatang, enam universitas di AS memang mengumumkan mereka menerapkan modul daring yang dikelola platform pendidikan Schoolhouse.world. Modul inilah yang diklaim dapat menilai calon mahasiswa untuk terlibat dalam wacana sipil.
Platform edukasi tersebut menyatakan mereka memungkinkan pelamar untuk menunjukkan keterbukaan pikiran, empati, dan keterampilan komunikasi melalui panggilan Zoom tatap muka dengan mahasiswa lain.
Universitas Columbia adalah salah satu universitas yang berpartisipasi. Mereka baru-baru ini setuju untuk membayar lebih dari USD 200 juta dalam penyelesaian hukum kepada pemerintahan Trump, setelah Gedung Putih menuduh Columbia gagal mencegah antisemitisme melalui kamp pro-Palestina tahun lalu.
Profesor emeritus di University of Wisconsin-Madison, Donald Alexander Downs mengatakan penerapan modul baru tersebut kemungkinan merupakan upaya untuk mengurangi agresivitas Trump dan meredakan tekanan reformasi dari alumni, mahasiswa, dewan pengawas, dan masyarakat umum.
Ia di sisi lain juga menilai kebijakan ini langkah mutakhir yang perlahan-lahan membentuk kembali pendidikan tinggi jika dilembagakan, didefinisikan, dan diterapkan dengan tepat.
"Ini tampaknya merupakan awal yang baik. Saya pikir sangat disayangkan hal itu harus terjadi sebagai reaksi terhadap tekanan dari luar. Pendidikan tinggi membutuhkan reformasi konstruktif dari dalam, semoga dapat menghindari campur tangan dari luar," ujarnya, dikutip dari Times Higher Education pada Selasa (19/8/2025).
Kampus Lain yang Nilai Pengetahuan Sipil Calon Mahasiswa
Perguruan tinggi lain yang menerapkan hal ini adalah University of Chicago, Johns Hopkins University, Colby College, Northwestern University, dan Washington University.
Downs mengatakan hal ini dapat menghasilkan lebih banyak mahasiswa yang menghargai kontroversi sekaligus menerima dan menoleransi perbedaan pendapat di universitas-universitas elite.
Seorang profesor hukum di Universitas Yale, Keith Whittington turut mengatakan pemerintahan Trump telah mengambil langkah besar dalam hal ini, tetapi banyak fakultas telah mendesak reformasi semacam itu sejak lama.
"Saya skeptis perubahan teknis pada reformasi penerimaan mahasiswa baru ini akan membuat perbedaan dramatis pada jenis mahasiswa yang diterima tanpa perubahan budaya yang lebih mendalam di kantor-kantor penerimaan mahasiswa baru, tetapi tampaknya ini merupakan langkah ke arah yang benar," jelasnya.
"Setidaknya hal ini mengirimkan sinyal kepada mahasiswa mereka harus memahami diri mereka sebagai sebuah proyek yang bertujuan untuk belajar lintas perbedaan dan menemukan hal-hal baru, bukan hanya proyek yang memberi platform untuk memajukan komitmen mereka (pemerintah AS) saat ini," jelasnya.
Institut Teknologi Massachusetts (MIT) dan Universitas Vanderbilt memutuskan untuk tidak melanjutkan program ini setelah masa percobaan. Vanderbilt mengatakan beberapa kekhawatiran muncul, tetapi tidak merinci apa saja kekhawatiran tersebut.
Presiden emerita Vassar College, Catharine Hill mengatakan ada kekhawatiran bahwa kebijakan semacam itu dapat menguntungkan mahasiswa yang lebih kaya.
"Persaingan untuk masuk ke perguruan tinggi selektif sangat tinggi, dan mahasiswa berpenghasilan tinggi akan berusaha memenuhi persyaratan ini bersama dengan hal-hal lain yang mereka yakini akan memberi mereka keuntungan dalam proses penerimaan," ungkapnya.
Ia juga memperingatkan hanya menerima mahasiswa yang berkomitmen pada wacana sipil tidak akan serta merta meningkatkan kualitas debat kampus.
Menurut seorang profesor sosiologi di Universitas Washington, Adia Wingfield, mahasiswa sebenarnya memiliki percakapan kelas yang jauh lebih bernuansa dan penuh pertimbangan dibandingkan dengan apa yang para kritikus pendidikan tinggi duga.
"Saya perkirakan pengenalan opsi ini akan menambah lapisan lain pada proses penerimaan, tetapi saya ragu hal ini akan menciptakan perubahan mendasar dalam cara mahasiswa menghadapi isu-isu kompleks," ujarnya.
(nah/nah)