Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) bersama empat mahasiswa perseorangan mengajukan uji materi pasal 11 ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kuasa pemohon, Girindra Sandino, menjelaskan para mahasiswa menilai pemerintah wajib menjamin tersedianya dana pendidikan bagi setiap warga negara pada seluruh jenjang pendidikan secara bertahap, bukan hanya pendidikan pada anak usia 7-15 tahun atau pendidikan dasar.
"Konsep gratis secara bertahap dapat dilakukan dengan memprioritaskan pembebasan biaya kuliah dan skema dukungan bertarget untuk biaya hidup mahasiswa," kata Girindra pada sidang pendahuluan di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (22/7/2025), dikutip dari laman MKRI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal 11 ayat (2) UU Sisdiknas berbunyi "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun."
Menurut para mahasiswa, ketentuan pasal tersebut inkonstitusional dan bertentangan dengan pasal 31 dan pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Mereka menilai, pasal tersebut harusnya dimaknai sebagai "Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara pada seluruh jenjang pendidikan secara bertahap."
Melanggengkan Ketidaksetaraan
Para mahasiswa juga menilai UU Sisdiknas merugikan hak konstitusional karena membebankan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi kepada peserta didik. Pembiayaan mandiri pendidikan tinggi oleh mahasiswa dipandang bukan menjadi masalah ekonomi saja, tetapi menjadi mekanisme struktural yang melanggengkan ketidaksetaraan dan menghambat kemajuan bangsa.
Mereka menjelaskan, biaya kuliah tinggi menimbulkan masalah finansial yang mengakibatkan banyak mahasiswa terpaksa berhenti kuliah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek) 2023, lebih dari 350 ribu mahasiswa berhenti kuliah. Mayoritas di antaranya dari perguruan tinggi swasta.
Mereka menegaskan, sistem uang kuliah tunggal (UKT) menghambat mahasiswa lanjut kuliah. Rata-rata biaya pendidikan tinggi mencapai Rp 19,01 juta per tahun pada tahun ajaran 2023/2024, dengan rata-rata biaya kuliah di Indonesia secara umum naik sekitar 50 persen dalam kurun 2014-2023.
Respons MK
Merespons Perkara Nomor 111/PUU-XXIII/2025 tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang memimpin Majelis Panel Hakim menyatakan para mahasiswa seharusnya menyampaikan argumentasi kuat terkait kewajiban negara maupun pemerintah daerah untuk membiayai pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi.
Arief menyatakan, contoh praktik negara-negara yang menggratiskan pendidikan tinggi bagi warganya tidak sebanding dalam hal jumlah penduduk, anggaran, hingga pendapatan.
"Anda singgung Skandinavia, di sana jumlah penduduknya sedikit, terus kemudian APBN-nya sudah tinggi, tingkat pendapatan per kapitanya sudah tinggi. Kita itu, berarti apakah, bagaimana coba dipikirkan supaya betul-betul apa yang diinginkan--Anda coba untuk membayangkan, kira-kira Mahkamah bisa mengabulkan, nggak, ini. Karena sebetulnya masalah pendidikan yang utama spesialisnya diatur di dalam Pasal 31, super spesialisnya di Pasal 31 ayat (2), itu sudah limitatif," kata Arief pada persidangan.
Sementara itu, ia mengatakan para pemohon dapat memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari. Berkas perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada Senin (4/8/2025) pukul 12.00 WIB.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih pada sidang yang sama mengatakan para mahasiswa juga harus menguraikan rincian pertentangan norma yang diuji dengan masing-masing pasal UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian.
"Bagaimana Saudara membangun sebuah argumentasi yang jelas mengenai bahwa ini harus gratis semua kalau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar itu bagaimana caranya, supaya bisa meyakinkan betul ada persoalan di situ," ucapnya.
(twu/nah)