Soal durasi waktu peleburan, kecepatan yang didapatkan reaktor plasma hidrogen ITB serupa dengan alat yang dirancang para peneliti dari Oak Ridge National Laboratory, Amerika Serikat.
Riset ilmuwan AS tersebut telah dipublikasikan pada 2024 di jurnal Sustainable Materials and Technologies. "Riset mereka juga mendapatkan kurang lebih 2 menit, memang sangat cepat," ujar Zulfiadi kepada detikedu beberapa waktu lalu.
Hanya saja, rancangan peneliti AS membutuhkan daya listrik yang lebih besar. Arus yang digunakan dalam percobaan sebesar 160 Ampere (A) dan tegangan 16,4 Volt (V) yang berarti daya listrik sekitar 2,6 kW.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, reaktor plasma hidrogen ITB arus searah yang dialirkan sebesar 35 A dengan tegangan rata-rata sekitar 40 V atau daya listrik kurang lebih 1,4 kW. "Kebutuhan daya (riset Amerika Serikat) lebih besar," ujar Zulfiadi.
Waktu yang lebih singkat dan daya listrik yang lebih kecil ini dapat disebabkan oleh penggunaan konsentrasi hidrogen yang besar, yang perlu diteliti lebih lanjut.
Dalam pidato ilmiahnya sebagai guru besar bidang pirometalurgi, Zulfiadi menyatakan, "Hasilnya (reaktor plasma hidrogen ITB) jika kami bandingkan dengan temuan di tempat lain yang kami dapatkan di laboratorium hari ini termasuk yang cepat dengan power terhadap berat yang lebih kecil."
Zulfiadi adalah seorang dosen berpengalaman di bidang pengolahan logam. Gelar doktoralnya diperoleh dari Institute for Ferrous Metallurgy (IEHK, Institut fuer Eisenhuettenkunde) di RWTH Aachen University, Jerman, yang dikenal sebagai salah satu universitas terbaik di negara tersebut.
Universitas ini juga pernah menjadi tempat studi BJ Habibie, ilmuwan Indonesia ternama dan Presiden ketiga Republik Indonesia.
Ketika lulus dari RWTH Aachen di tahun 2006, putra Aceh ini meraih penghargaan bergengsi, Ludwig von Bogdandy-Preis, sebagai ilmuwan muda berprestasi.
Penghargaan itu diberikan atas hasil penelitian Zulfiadi di bidang metalurgi yang dianggap inovatif serta berguna bagi masa depan. Menariknya, putra Aceh ini merupakan peneliti dari luar Jerman pertama yang mendapatkan penghargaan tersebut.
Selain itu, suami Sri Yulis ini juga menerima penghargaan Borchers Plakette karena menyelesaikan program doktoralnya dengan predikat tertinggi, summa cum laude.
Risetnya saat doktoral itu dilirik oleh kalangan industri pengolahan baja. Begitu lulus, Zulfiadi langsung dikontrak Siemens VAI, sebuah perusahaan logam di Jerman.
Zulfiadi menuturkan pembimbingnya di RWTH Aachen yang menganjurkan agar dirinya mencari pengalaman di industri di Jerman sebelum kembali ke Indonesia. Selepas kontrak tersebut, ia memutuskan kembali ke Tanah Air untuk mengajar dan meneliti di almamaternya.
(pal/nwy)