Dosen dan peneliti Prof Brian Yuliarto ST MEng PhD meraih penghargaan Habibie Prize 2024 Bidang Ilmu Rekayasa pada Anugerah Talenta Unggul Habibie Prize 2024 dan Bincang Ekosistem Riset Inovasi Indonesia di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Gedung BJ Habibie, Jakarta, Senin (11/11/2024). Brian menjadi salah satu dari lima talenta unggul Indonesia penerima Habibie Prize 2024 yang berkontribusi signifikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penghargaan Habibie Prize merupakan penghargaan bergengsi yang menyematkan nama BJ Habibie sebagai penghormatan atas sosoknya yang visioner dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Penghargaan ini diharapkan mendorong inovasi dan memperkuat ekosistem riset RI di Indonesia, sesuai dengan visi BJ Habibie akan lahirnya SDM RI yang inovatif dan unggul.
Lantas, seperti apa sosok dan kiprah Brian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi? Simak sososknya di bawah ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Riset dan Inovasi
Brian tercatat sebagai dosen dan peneliti bidang Teknik Fisika dari Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung (ITB). Sejak 2006, ia memulai karier di kampus ganesha ini.
Dekan Fakultas Teknologi Industri ITB ini aktif meneliti dengan fokus pada pengembangan nanomaterial untuk aplikasi sensor dan energi. Ia menjelaskan, hasil penelitiannya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan sensor sehingga lebih cepat dan akurat mendeteksi berbagai molekul target.
Inovasi Brian dan rekan-rekan antara lain berupa pengembangan sensor gas berbahaya dan polutan. Ia juga menciptakan inovasi sensor untuk diagnosis penyakit seperti demam berdarah, hepatitis, kanker, dan berbagai bakteri patogen yang mengancam kesehatan manusia.
Ia menjelaskan, berbekal hasil pengembangan rekayasa nanoporous, inovasi sensornya lebih sensitif sehingga mampu menangkap lebih banyak molekul target.
Kerja Sama Internasional dan Kemandirian RI
Brian menuturkan, ia dan rekan-rekan kini tengah mengembangkan material nano untuk aplikasi sensor dan energi, termasuk pada biosensor di dalamnya. Aplikasi ini rencananya akan menjadi bagian dari alat diagnostik medis berbagai penyakit di Indonesia.
Untuk mengembangkan alat diagnostik penyakit tersebut, ia dan rekan-rekan tengah bekerja sama dengan industri. Ia berharap Indonesia ke depannya tidak hanya mandiri dalam teknologi biosensor tetapi juga dapat berkontribusi pada penguasaan teknologi kesehatan global.
"Harapannya bisa kita kuasai teknologinya, kemudian kita bisa kerja sama dengan industri, dan akhirnya kita bisa bekerja sama dengan industri untuk membangun industri-industri diagnostik, sehingga menghasilkan alat diagnostik berbagai penyakit yang sangat beragam di Indonesia, sehingga akhirnya kita bisa punya kemandirian. Itu yang sedang kami kerjakan," ucapnya pada detikEdu usai menerima penghargaan Habibie Prize 2024.
Ia mencontohkan, alat diagnostik dapat dikembangkan dengan aplikasi sensor berbasis nanomaterial antara untuk diagnosis Covid maupun penyakit tropis seperti demam berdarah dengue dan tuberkulosis (TBC).
Kendati Indonesia sudah maju dalam pengembangannya, Brian menyorot praktik impor alat diagnostik yang masih marak. Ia berharap penelitiannya dan rekan-rekan di Tanah Air bisa mendorong pembangunan industri dan kemandirian dalam negeri.
"Penelitian Prof Bachti (Alisjahbana, penerima Habibie Prize 2024 Bidang Ilmu Kedokteran dan Bioteknologi asal Universitas Padjadjaran) juga mirip dan kami juga kerja sama penelitian dengan timnya. Kalau kita bisa bangun (industrinya) kan kita lebih mandiri. Ketika nanti ada COVID atau pandemi lagi, kita sudah menguasai teknologi dan sudah bisa tidak bergantung lagi dengan negara lain," ucapnya.
Dikutip dari catatan resminya, Brian menjalin kolaborasi riset dengan peneliti nasional dan internasional. Kolaborasinya menghasilkan 329 artikel ilmiah terindeks Scopus yang telah disitasi sebanyak 5.618 kali, dengan h-indeks 38.
Karya-karya inovatif Brian juga diakui lewat sejumlah paten untuk perlindungan karya intelektualnya. Karya-karya inilah yang ke depannya antara lain dapat dikembangkan menjadi produk industri.
Membangun Laboratorium Kelas Dunia di ITB
Brian berupaya membangun laboratorium berstandar internasional di ITB. Bersama para dosen dan peneliti ITB, BRIN, dan sejumlah perguruan tinggi RI, ia menciptakan lingkungan riset yang menarik mahasiswa pascasarjana bergabung dalam penelitian.
Daya saing laboratorium kemudian juga ditingkatkan lewat kolaborasi dengan ilmuwan tingkat dunia. Cara-cara ini menurutnya menjadikan laboratorium tersebut kini sejajar dengan laboratorium top dunia lainnya.
Pendidikan Nanoteknologi di Indonesia
Soal pendidikan nanoteknologi sendiri, Brian menuturkan, pendidikan S2 hingga S3 ilmu nanomaterial dan nanoteknologi di Indonesia, khususnya ITB sedng terus diperbaiki. Kemajuannya sudah mulai terasa saat ini
"Saya bisa menyatakan bahwa kita sudah bisa sejajar ya dengan penelitian-penelitian riset-riset di luar negeri," ucapnya.
Brian tak menampik pendidikan tinggi nanoteknologi masih mengalami keterbatasan di sejumlah aspek. Namun, berbagai keterbatasan tersebut menurutnya sudah dapat diatasi lewat pengembangan dan kolaborasi kampus dalam negeri dengan kampus-kampus besar di dunia.
Ia mencontohkan, keterbatasan di dalam negeri dapat disiasati dengan mengirim sampel penelitian ke luar negeri.
"Bahkan beberapa mahasiswa kita juga ikut program visiting researcher di kampus-kampus luar negeri, sehingga kami yakin sekali bahwa kualitas kita sudah bisa kita nyatakan sejajar ya dengan penelitian-penelitian top di luar negeri," ucapnya.
Soal Peneliti Kembali ke Indonesia
Peraih Habibie Prize 2024, termasuk Brian, diharapkan terus memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Ia juga diharapkan menginspirasi anak muda untuk berkarya, khususnya di Tanah Air, di bidang inovasi dan riset yang memajukan bangsa.
Untuk bidang rekayasa nanomaterial sendiri, Brian menilai peralatan riset di Indonesia sudah sama dengan yang di luar negeri. Kendalanya yakni jumlah peralatan yang jauh lebih sedikit dari jumlah periset sehingga waktu antre jadi panjang.
"Karena pengguna kita banyak sekali dan jumlah alat juga tidak sebanyak di luar negeri, sehingga mungkin butuh waktu lebih untuk menunggu bisa menggunakan alat-alat itu. Tetapi, tetap kita bisa lakukan sebenarnya, ya," ucapnya.
Soal gaji, Brian menilai tiap orang dapat memiliki standar berbeda. Di sisi lain, ia mengamini bahwa tantangan periset Indonesia relatif lebih tinggi dari aspek nonpenelitiannya sendiri seperti di atas. Untuk itu, ia menilai bekal pengalaman di luar negeri memungkinkan talenta iptek yang pulang ke Tanah Air bisa menghadapi tantangan tersebut.
"Saya yakin justru setelah dikirim ke luar negeri, teman-teman kita, para anak-anak muda itu bisa mencari jalan-jalan keluar ya, untuk mengatasi keterbatasan, sehingga kita (Indonesia) bisa maju juga seperti di kampus luar negeri, meskipun kita lakukan riset di Indonesia," ucapnya.
(twu/nwk)