Proses 'Tanah' Jadi Logam di ITB Butuh Waktu 2 Menit, Disebut Ramah Lingkungan

ADVERTISEMENT

Proses 'Tanah' Jadi Logam di ITB Butuh Waktu 2 Menit, Disebut Ramah Lingkungan

Pasti Liberti Mappapa - detikEdu
Senin, 11 Nov 2024 17:00 WIB
Guru besar Teknik Metalurgi ITB Zulfiadi Zulhan (ki) bersama timnya sedang melakukan percobaan Reaktor Plasma Hidrogen di laboratorium Pirometalurgi beberapa waktu lalu.
Guru besar Teknik Metalurgi ITB Zulfiadi Zulhan (ki) bersama timnya sedang melakukan percobaan Reaktor Plasma Hidrogen di laboratorium Pirometalurgi beberapa waktu lalu. (Dok. Zulfiadi Zulhan ITB)
Jakarta -

Beberapa waktu lalu video konten "Tanah Menjadi Logam" viral di media sosial lewat akun Imam Santoso, dosen Program Studi Teknik Metalurgi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM) Institut Teknologi Bandung (ITB).

Imam menyorot proses "menyulap" sebongkah kecil tanah menjadi besi dan nikel dalam waktu kurang dari 2 menit di laboratorium Pirometalurgi ITB. Proses tersebut disebut menggunakan teknologi plasma hidrogen.

Teknologi ini digagas Zulfiadi Zulhan yang juga dosen Teknik Metalurgi ITB. Zulfiadi bersama dengan timnya kemudian merealisasikan teknologi tersebut dalam bentuk reaktor plasma hidrogen.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Zulfiadi dikenal sebagai dosen yang punya jam terbang tinggi di bidang pengolahan logam. Gelar doktornya didapatkan dari Institute for Ferrous Metallurgy (IEHK, Institut fΓΌr EisenhΓΌttenkunde), RWTH Aachen University, Jerman.

Kampus ini salah satu universitas terkemuka di Jerman. Ilmuwan legendaris Indonesia yang juga Presiden ke-3 Republik Indonesia BJ Habibie merupakan alumnus kampus tersebut.

ADVERTISEMENT

Saat lulus dari kampus yang berlokasi di Kota Aachen itu pada 2006, Zulfiadi mendapatkan penghargaan Ludwig von Bogdandy-Preis sebagai ilmuwan muda yang lulus dengan prestasi.

Zulfiadi Zulhan menyampaikan orasi ilmiah saat pengukuhan guru besar Teknik Metalurgi Institut Teknologi Bandung (ITB), 12 Oktober 2024.Zulfiadi Zulhan menyampaikan orasi ilmiah saat pengukuhan guru besar Teknik Metalurgi Institut Teknologi Bandung (ITB), 12 Oktober 2024. Foto: ITB

Ia juga diganjar penghargaan Borchers Plakette RWTH Aachen University karena berhasil menyelesaikan program doktor dengan predikat "summa cum laude".

Pada pertengahan Oktober lalu, Zulfiadi baru dikukuhkan guru besar FTTM ITB. Dalam upacara pengukuhan, pria yang lahir di Aceh Utara itu membawakan orasi ilmiah berjudul "Reaksi Plasma Hidrogen untuk Produksi Logam yang Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan".

Kepada detikedu, Zulfiadi menjelaskan mengubah tanah menjadi logam sebenarnya bukan hal yang baru karena sudah dilakukan ribuan tahun lalu. Ia mengaku menggunakan istilah tanah agar mudah dijelaskan dalam bahasa sehari-hari. "Istilah yang paling tepat adalah bijih atau dalam bahasa Inggris disebut ore," ujarnya.

Meski tanah memang mengandung unsur besi, tapi menurut Zulfiadi tidak semua layak secara ekonomis jika "disulap" menjadi logam. "Kandungan unsur besinya minimal 55 persen," katanya.

Tanah lain yang sudah dicoba di laboratorium adalah bijih nikel laterit, yang mengandung besi dan nikel. Jenis ini banyak terdapat di Indonesia bagian timur. Percobaan bijih nikel laterit ini dalam reaktor plasma hidrogen menghasilkan feronikel dalam waktu 1,5 menit.

Ide Reaktor Plasma Hidrogen Lahir di Jerman >>>

Ide Reaktor Plasma Hidrogen Lahir di Jerman

Zaman dahulu proses pembuatan besi ditemukan secara tidak sengaja saat orang melakukan pesta di malam hari menggunakan api unggun.

"Tiba-tiba pagi hari begitu selesai pesta ada logam yang terbentuk, ternyata proses membakar kayu di atasnya ada proses reduksi di situ di tempat yang adanya besi oksida atau logam oksida di situ didapatkan logam," katanya.

Sejak itu, manusia menggunakan arang kayu sebagai reduktor. Namun, masa revolusi industri mengubah segalanya. Saat itu, kebutuhan baja meningkat sangat pesat. Akibatnya arang kayu tidak cukup lagi untuk memenuhi kebutuhan produksi logam.

Akhirnya pada 1708, ilmuwan Inggris Abraham Darby berhasil mengoperasikan tanur tiup atau blast furnace menggunakan kokas yang berasal dari batu bara.

"Sejak saat itu sebagian besar arang kayu diganti dengan kokas," kata Zulfiadi.

Misalnya tidak ada penemuan Darby tersebut, menurut Zulfiadi, dunia tidak akan menghadapi masalah dengan CO2 di industri besi baja. Pabrik yang menggunakan arang kayu sebagai bahan sumber energi dan reduktor dikategorikan sebagai karbon netral, mirip seperti manusia dan hewan yang juga dikategorikan sebagai karbon netral karena makanannya berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Seiring berjalannya waktu para ahli dari berbagai belahan dunia menyepakati pemanasan global dan perubahan iklim salah satunya disebabkan oleh emisi gas CO2. Karena itu, upaya untuk mengurangi emisi gas CO2 kini tengah gencar dilakukan di berbagai sektor.

Dalam industri logam, emisi CO2 dari industri baja berkontribusi lebih dari 85%. Berbagai langkah telah dan terus diambil untuk mengurangi emisi CO2 di sektor ini, antara lain dengan mengganti penggunaan energi fosil dengan biomassa dan gas hidrogen.

"Saat ini, fokus utama diarahkan pada pengurangan emisi CO2 dalam industri besi dan baja," ujar Zulfiadi.

Teknologi tanur tiup, yang digunakan untuk melebur besi, menjadi penyumbang emisi terbesar dalam industri baja karena lebih dari 60% lelehan besi dihasilkan dengan teknologi ini.

Upaya mengurangi emisi CO2 dari tanur tiup sedang dilakukan, salah satunya dengan metode injeksi gas hidrogen. Selain itu, tanur tiup juga mulai digantikan dengan kombinasi teknologi reduksi langsung dan tanur listrik.

Eropa sedang giat untuk membuat Green Steel dengan mengambangkan beberapa teknologi. Salah satunya penggunaan plasma hidrogen sebagai media peleburan dan reduksi logam oksida dari mineral-mineral yang terkandung di dalam bijih.

Dalam bahasa Inggris, teknologi ini disebut dengan hydrogen plasma smelting reduction atau HPSR. Teknologi ini menggunakan hidrogen sebagai reduktor dan energi listriknya berasal dari yang terbarukan (renewable).

"Jadi idenya itu menciptakan teknologi ramah lingkungan untuk produksi logam yang tidak ada emisi CO2," ujar Zulfiadi.

Saat menempuh studi doktoral di RWTH Aachen University, Jerman pada 2003-2005, terlintas ide mengembuskan hidrogen melalui elektroda grafit dalam tanur listrik untuk melebur bijih.

Ide tersebut akhirnya baru terwujud 2 dekade kemudian. Meski sebenarnya pada 2018 lalu ia sempat berdiskusi dengan salah satu ahli tentang plasma untuk mewujudkan idenya. "Tapi tak berlanjut sampai eksekusi," ujarnya.

Tekad untuk merealisasikan ide tersebut mengerucut pada April 2023 di Laboratorium Pirometalurgi, FTTM-ITB.

Teknisi laboratorium di FTTM ITB, Yopi Hendrawan membantunya untuk menggali kemungkinan memanfaatkan dan mengoptimalkan alat pemotong baja yang tersedia di pasaran. "Kami menjajaki untuk modifikasi plasma cutter jadi plasma hidrogen," ujarnya

Percobaan awal dilakukan pada bulan Juni hingga Agustus 2023 di bengkel milik Yopi. Di bengkel yang berlokasi di Ujung Berung, Bandung itu, Zulfiadi dibantu Yopi merancang reaktor skala laboratorium. Dinding reaktornya dibuat dari baja tahan karat.

Reaktor Plasma HidrogenReaktor Plasma Hidrogen Teknik Metalurgi FTTM ITB Foto: Dok. Zulfiadi Zulhan ITB

Adapun lokasi penempatan sampel atau krusibel terbuat dari tembaga berada pada bagian bawah reaktor. Tempat itu didinginkan dengan air.

Kemudian, gas yang umumnya digunakan pada plasma cutter disubstitusi dengan argon dan campuran argon dengan hidrogen. Nozel plasma cutter dimodifikasi sehingga kutub positif dan kutub negatif berada dalam satu nozel. "Modifikasi bagian nozel ini yang agak sulit," ujarnya.

Reaktor Plasma Hidrogen ITB Ramah Lingkungan >>>

Cara Kerja Reaktor Plasma Hidrogen ITB

Zulfiadi menjelaskan cara kerja alatnya dimulai dari gas argon dan gas hidrogen dialirkan melalui alat pengukur laju alir kemudian menuju reaktor plasma melalui inverter.

Gas buang dialirkan keluar reaktor menuju pembakar yang sekaligus berfungsi sebagai penghalang udara dari luar masuk ke dalam reaktor.

Pada awal percobaan, setelah sampel berupa tanah yang mengandung bijih besi diletakkan di atas krusibel tembaga yang didinginkan air, reaktor ditutup, argon dialirkan 1 menit untuk mengusir udara yang terdapat di dalam reaktor.

Proses peleburan bijih besi gutit dalam reaktor HSPR dalam waktu 2 menitProses peleburan bijih besi gutit dalam reaktor HSPR dalam waktu 2 menit Foto: Baihaqi Hakim/ITB

Setelah itu, gas hidrogen dialirkan bersamaan dengan gas argon dengan laju alir tertentu sesuai dengan kebutuhan. Gas yang keluar dari reaktor melalui pipa menuju cerobong mini dibakar dengan korek hingga muncul nyala api.

Jika nyala api sudah terbentuk, yang berfungsi sebagai sealing untuk mencegah udara luar masuk ke dalam reaktor, langkah berikutnya adalah melakukan ignisi untuk menghasilkan plasma. Plasma dinyalakan sesuai dengan waktu yang ditentukan sebelumnya.

"Seperti orang nge-las, tapi dengan mengalirkan gas hidrogen ke dalam busur listrik las," ujar Zulfiadi.

Pada fase ini "tanah" berproses menjadi logam. Reaktor plasma membangkitkan suhu yang sangat tinggi bisa mencapai lebih dari 10.000 derajat celsius. Temperatur ini menghasilkan hidrogen (H dan H+) yang berfungsi sebagai reduktor.

Hidrogen tadi "menangkap" oksigen di bijih menghasilkan uap air. Hasil akhirnya berupa logam besi. Waktunya pun sangat singkat kurang dari 2 menit. Tingginya kecepatan proses ini pun mengejutkan Zulfiadi dan tim.

"Ini seperti sulap tapi bukan sulap," katanya.

Dibandingkan dengan proses produksi saat ini dengan teknologi Blast Furnace yang menggunakan batu bara dibutuhkan lebih dari 2 jam untuk menghasilkan logam. Selain itu, prosesnya pun terbilang ramah lingkungan.

"Kalau misalnya kita menggunakan hidrogen untuk reduktornya tidak ada karbon dalam produk (logam) serta tidak ada sulfur yang biasanya berasal dari batu bara," katanya.

Setelah selesai, plasma dimatikan, gas hidrogen ditutup salurannya ke reaktor. Gas argon tetap dinyalakan hingga nyala api di cerobong mini mati, yang mengindikasikan gas hidrogen dari reaktor sudah kecil konsentrasinya dan tidak terjadi ledakan.

"Selama masa percobaan berkali-kali ada ledakan kecil, ya namanya percobaan trial and error," katanya. Karena itu, menurut Zulfiadi keamanan menjadi salah satu isu utama dalam pengembangan reaktor plasma hidrogen.

(Bersambung)


Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads