Istilah tertiary education baru-baru ini mencuat setelah disebut oleh Plt Sekretaris Ditjen Diktiristek, Prof Tjitjik Sri Tjahjandarie PhD saat memberikan keterangan perihal alasan perubahan biaya kuliah di berbagai kampus.
"Pendidikan tinggi adalah tertiary education, jadi bukan wajib belajar. Artinya, tidak seluruhnya lulusan SLTA/SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Itu sifatnya adalah pilihan," kata Tjitjik dilansir dari detikNews, Senin (27/5/2024).
Setelah Tjitjik menyebut hal tersebut, banyak orang yang salah mengartikan. Banyak yang menganggap pernyataan tersebut bermakna kuliah adalah kebutuhan tersier.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, menurut dosen administrasi publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Agie Nugroho Soegiono, pendidikan tersier dan kebutuhan tersier jelas berbeda.
"Nah, sebenarnya yang dimaksud pendidikan tersier oleh beliau (Prof Tjitjik) adalah mengenai level pendidikan ketiga. Namun, pernyataannya banyak disalahartikan dengan menyebut kalo pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier, " jelas Agie dalam laman Unair, dikutip Senin (27/5/2024).
Perbedaan Tertiary Education dan Tertiary Needs
Agie berpendapat masyarakat yang salah menangkap maksud Tjitjik belum bisa membedakan antara tertiary education dan tertiary needs. Dalam konteks pendidikan, tersier yang dimaksud adalah tingkat pendidikan.
"Pendidikan tersier dan kebutuhan tersier itu adalah dua hal yang berbeda. Media seringkali mengutip pendidikan tersier sebagai kebutuhan tersier. Pendidikan tersier itu mengacu pada level atau tingkat pendidikan. Sedangkan, kebutuhan tersier sebagaimana yang kita tahu adalah kebutuhan yang memang bisa dikatakan mewah," tutur Agie.
Tertiary education baru bisa didapatkan oleh seseorang setelah menyelesaikan primary education (SD) dan secondary education (SMP dan SMA).
Agie berpendapat seharusnya pendidikan tinggi bisa menjadi jalan untuk mengubah kondisi ekonomi mahasiswa. Lewat kuliah, kesempatan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan lebih tinggi.
"Oleh sebab itu, kalo kita ingin maju pendidikan tersier harus dibuka seluas-luasnya," katanya.
Mahasiswa Menengah Perlu Disorot Imbas Kenaikan UKT
Adapun soal kenaikan UKT di berbagai PTN, Agie menyebut mahasiswa dengan ekonomi golongan menengah perlu diperhatikan. Mereka adalah mahasiswa yang rata-rata tak mendapat beasiswa juga tak termasuk golongan orang kaya.
"Kelas menengah ini yang menjadi persoalan karena mereka tidak memiliki kemampuan dan bantuan. Ini yang harus diupayakan oleh pemerintah. Kemendikbud mengambil tindakan pada kenaikan melonjak drastis namun tidak didasari pada alasan yang rasional," kata Agie.
Agie berharap prioritas anggaran pendidikan bisa tujukan terhadap akses pendidikan tinggi. Menurutnya, pendidikan tinggi harus memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat menengah ke bawah.
"Ke depan saya rasa prioritas anggaran pendidikan harus ditujukan pada akses pendidikan tinggi seluas-luasnya pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Bantuan pendidikan juga mesti diawasi secara ketat dan tepat sasaran," katanya.
Soal Program Student Loan
Di samping polemik UKT, banyak yang menyinggung perihal student loan. Wacana ini sempat disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Student loan adalah pinjaman mahasiswa untuk membayar biaya kuliah. Di luar negeri, student loan telah meringankan beban mahasiswa karena pembayaran kuliah bisa dengan mencicil bahkan hingga mereka lulus dan bekerja.
"Di negara lain sebenarnya pinjaman mahasiswa atau student loan ini sudah banyak diterapkan. Cuma masalahnya apakah seorang pelamar program itu benar-benar punya perencanaan dan prospek kerja yang bagus untuk bisa mengembalikan pinjaman ketika mereka sudah lulus kuliah nanti," ungkap Agie.
Menurut Agie sistem ini perlu dicermati bersama agar tak menimbulkan masalah baru setelah memperolehnya. Jangan sampai mahasiswa terjerat hutang selama masa pendidikan.
(cyu/nwk)