Seorang mahasiswa penerima bantuan pendidikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah belakangan viral karena flexing alias pamer kekayaan. Posnya di media sosial memicu hujatan dan pertanyaan atas kelayakannya untuk menerima bantuan pendidikan yang menyasar pelajar tidak mampu.
Perilaku flexing dalam Cambridge Dictionary dijelaskan sebagai memperlihatkan kebanggaan atau kebahagiaan diri atas sebuah pencapaian atau kepemilikan sesuatu. Flexing dilakukan dengan cara yang membuat orang jengkel atau terganggu.
Flexing Didorong Media Sosial
Menurut Dosen Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) Universitas Airlangga Muhammad Noor Fakhruzzaman SKom MSc, flexing marak di media sosial karena budaya engagement. Sebab, cara main medsos berfokus pada berlomba-lomba meningkatkan interaksi pada konten yang dibuat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terlepas dari peruntukan KIP-K, flexing di medsos, khususnya yang menampilkan foto-foto mewah di Instagram, marak terjadi. Hal tersebut dikarenakan budaya medsos yang menekankan pada engagement, mendorong pengguna untuk selalu berusaha meningkatkan interaksi tersebut," kata Ruzza, dikutip dari laman resmi Unair.
Cari Pengakuan
Ruzza menambahkan, penyalahgunaan medsos untuk flexing juga mendorong seseorang untuk mendapatkan dopamine rush. Pada konteks ini, istilah dopamine rush mengacu pada munculnya sensasi senang dari pengakuan orang lain.
Dosen Teknologi Sains Data (TSD) Unair ini menambahkan, pengakuan dari orang lain tidak semata berdampak pada diri seseorang, tetapi juga peluang di bidang keuangan.
"Teori 'uses and gratifications' dalam komunikasi massa menjelaskan bahwa pengguna Instagram memanfaatkan platform tersebut untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Tidak terkecuali berupa pengakuan dari orang lain dan dalam konteks influencer adalah motivasi finansial," terangnya.
Coba Interaksi Tanpa Medsos
Mengutip penelitian Rasika dan rekan-rekan, Ruzza menjelaskan pembangunan identitas diri dan berbagi pengalaman telah menjadi kebutuhan yang semakin penting. Di sisi lain, subkultur yang terbangun dari identitas online bisa berdampak pada seseorang di dalam atau di luar komunitas tersebut.
Untuk itu, Ruzza menyarankan agar pemilik identitas online juga bersosialisasi di luar ranah media sosial. Interaksi langsung juga memungkinkan seseorang lepas dari target-target metrik di media sosial, seperti berapa banyak yang mengikuti akun, berapa banyak yang like pos baru-baru ini, dan apakah lawan interaksi sudah subscribe kanal kita.
"Penting untuk membatasi paparan media sosial dan sering bersosialisasi tanpa melibatkan media internet. Menurut saya, hal tersebut bisa mendefinisikan ulang arti dari bersosialisasi, tanpa harus berorientasi pada metrik engagement seperti like, follow, dan subscribe," terangnya.
(twu/nwk)