Tidak kurang dari 295 guru besar di Universitas Gadjah Mada (UGM) akan masuk masa pensiun pada 2025. Meski demikian, sejumlah guru besar kampus favorit tersebut menyatakan tidak setuju jika jabatan ini kemudian diisi oleh kalangan nonakademik.
Salah satunya Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Prof Koentjoro. Dia tidak sepakat jika jabatan profesor diisi dari kalangan nonakademik atau pejabat publik yang diangkat menjadi profesor kehormatan.
Menurut Prof Koentjoro, batas usia pensiun profesor sebaiknya diperpanjang daripada mengangkat profesor kehormatan atau honorary professor dari kalangan nonakademik atau praktisi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hormatilah dosen-dosen karena banyak di mana-mana terjadi usia pensiun profesor diperpanjang kalau misalkan memang kebutuhannya memenuhi. Bukan didatangkan dari praktisi karena mereka (praktisi) kan tidak punya pengalaman mengajar," terangnya, dikutip dari Antara pada Minggu (19/2/2023).
Prof Koentjoro mengatakan, profesor adalah jabatan akademik, bukan gelar akademik layaknya sarjana atau doktor yang melekat sepanjang hidup. "Profesor bukan gelar. Profesor itu adalah jabatan fungsional yang diraih dosen dengan tertatih-tatih," tegasnya.
Tahapan Panjang Menjadi Profesor
Ketua Komisi III Dewan Guru Besar UGM ini menerangkan, untuk menduduki jabatan akademik tertinggi sebagai profesor, para dosen harus melewati tahapan panjang mulai dari asisten ahli, lektor, lektor kepala, sampai profesor. Seorang dosen juga wajib mengumpulkan kum penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan pengajaran.
Prof Koentjoro menekankan, untuk menempuh jenjang pendidikan S3 sebagai syarat dosen mengajukan kenaikan pangkat sebagai profesor, pun tidak mudah. Saking susahnya menempuh S3, Prof Koentjoro menyebut salah satu rekannya di Forum Dewan Guru Besar Indonesia ada yang enam tahun menyandang jabatan ini dan belum memperoleh kesempatan menguji disertasi.
"Pak, saya sudah enam tahun menjadi guru besar belum pernah menguji S3, membimbing S3 karena saking susahnya untuk S3," ujar Prof Koentjoro menirukan rekannya.
Senada dengan Prof Koentjoro, Prof Djanianton Damanik yang juga merupakan guru besar UGM menyatakan, ada atau tidak ada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 38/2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi, jabatan profesor tetap tidak pantas diberikan kepada seseorang yang tidak memenuhi rekam jejak sebagai akademik.
"Prestasi atau kinerja akademiklah yang menjadi dasar untuk jabatan guru besar atau profesor, bukan yang lain," kata dia.
Penolakan Dosen UGM atas Guru Besar Kehormatan
Baik Prof Koentjoro maupun Prof Djanianton, keduanya adalah bagian dari 353 dosen UGM yang namanya tercantum dalam surat pernyataan sikap menolak usulan pemberian gelar guru besar kehormatan kepada individu dari kalangan nonakademik.
Surat tertanggal 22 Desember 2022 ini ditujukan kepada rektor UGM beserta ketua, sekretaris, ketua-ketua komisi, dan anggota Senat Akademik UGM.
Sebelumnya, UGM juga menyampaikan tengah melakukan kajian akademik atas Permendikbudristek Nomor 38/2021. Dosen Departemen Hukum Tata Negara UGM, Dr Andi Sandi Antonius selaku Ketua Tim Kajian Regulasi Profesor Kehormatan UGM menyadari bahwa peraturan ini menuai berbagai respons dari dosen UGM.
"Kajian ini dimaksudkan untuk mendudukkan pemberian profesor kehormatan dengan prudent (bijaksana) sehingga marwah UGM sebagai lembaga pendidikan tinggi tetap terjaga," ucap Andi.
Sekretaris Rektor UGM, Wirastuti Widyatmanti menegaskan bahwa di kampusnya setiap pandangan akan dihargai dan dihormati. Prinsip ini menurutnya menjadi dasar UGM dalam melakukan kajian atas Permendikbudristek tersebut.
Wirastuti mengatakan, hasil akhir dari kajian atas regulasi profesor kehormatan akan disampaikan ke pihak Kemendikbudristek dan menjadi dasar langkah UGM ke depannya.
(nah/nwy)