Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar telah diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada Sabtu (3/9/2022) melalui konferensi pers secara daring dalam kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Pengumuman kenaikan ini memicu protes dari masyarakat. Presiden Jokowi mengatakan bahwa anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun 2022 meningkat hingga tiga kali lipat dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502,4 triliun rupiah. Peningkatan tersebut akan terus terjadi.
Bahkan, menurut Presiden, lebih dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang kelas menengah ke atas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Satria Unggul Wicaksana menilai kenaikan BBM tidak tepat. Ia menegaskan semestinya uang negara diprioritaskan untuk subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu dan saat ini pemerintah harus membuat keputusan dalam situasi yang sulit.
Mengutip dari laman resmi UM Surabaya, Selasa (6/9/2022), Satria memaparkan sejumlah alasan terkait tidak tepatnya kenaikan harga BBM.
5 Alasan Tidak Tepatnya Kenaikan Harga BBM
1. Pemerintah Harus Mempertimbangkan Kebijakan Menarik Subsidi
Satria mengatakan, pemerintah seharusnya mempertimbangkan betul kebijakan menarik subsidi. Menurutnya, hal ini dikarenakan kenaikan BBM akan memicu terjadinya lonjakan besar pada beberapa harga kebutuhan pokok di masyarakat.
Selain itu, kenaikan BBM juga mempengaruhi situasi politik dan ekonomi yang terjadi. Terlebih, menurut Konstitusi Pasal 33 (3) UUD 1945, negara diminta mengatur aspek bumi, air, dan mineral untuk kesejahteraan rakyat, termasuk BBM.
"Apalagi kondisi ekonomi beranjak pulih pasca pandemi COVID-19, pertimbangan stabilitas ekonomi harus jadi pertimbangan utama," jelas dosen UM Surabaya tersebut.
2. Adanya Subsidi Tidak Tepat Sasaran
Menurutnya, subsidi tidak tepat sasaran karena diberikan kepada orang mampu dengan pendapatan per-kapita lebih dari Rp 450 ribu per-bulan.
Mengapa? Harus ada data transparan dan akuntabel, serta klasifikasi masyarakat mampu dengan penghasilan Rp 500 ribu apakah dianggap tepat jika disebut mampu.
3. Pengalihan Subsidi
Lebih lanjut Satria mengatakan, pengalihan subsidi menjadi bantuan sosial kepada warga tidak mampu sebesar Rp 150 ribu tiap bulan dan penghasilan pra-kerja juga bukan solusi yang baik.
Dalam kaitannya ia menjelaskan, pemerintah harus membuat kajian mendalam dengan petimbangan kebijakan yang berkelanjutan untuk mengatasi problem kemiskinan baru usai bantuan sosial diberikan.
4. Pemerintah Harus Komitmen Pertumbuhan Ekonomi Hijau
Selanjutnya, kata Satria, pemerintah harus komitmen untuk pertumbuhan ekonomi hijau. Menurutnya, jika subsidi BBM dicabut, maka harus dibarengi dengan pembatasan produksi atau impor Low Cost Green Car (LCGC) dan over-vehicle yang menjadi beban negara.
Selain itu insentif terhadap kendaraan listrik harus menjadi opsi, sehingga subsidi BBM tidak tepat sasaran tidak terjadi.
Baca juga: Harga BBM Naik, Apa Dampaknya? |
5. Subsidi Dialihkan ke Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN)
Pengalihan subsidi BBM untuk pembangunan IKN juga tidak tepat, menurut Satria. Hal ini dinilai tidak tepat dan menjadi ambisi politik yang mengorbankan hak dasar warga negara Indonesia.
"Pemerintah seharusnya tidak memaksakan upaya membangun IKN di tengah kondisi krisis ekonomi, apalagi mengalihkan subsidi BBM, dan berbagai pungutan pajak yang justru memperberat beban warga negara," imbuh Satria.
(kri/kri)