×
Ad

Dari Malang ke AS: Ini Perjalanan Nova Jadi Peneliti di Harvard

Cicin Yulianti - detikEdu
Minggu, 16 Nov 2025 09:00 WIB
Novalia Pishesha, peneliti Harvard University asal Singosari, Jatim. Foto: PisheshaLab
Jakarta -

Menjadi periset di Harvard University bukanlah sesuatu yang mudah diraih. Perlu dedikasi tinggi dalam pendidikan maupun waktu.

Dari sekian banyak orang yang menyerah untuk kedua hal itu, salah seorang perempuan asal Singosari, Malang, Jawa Timur ini justru sukses membuktikan bahwa anak muda Indonesia mampu menembus kampus top dunia tersebut.

Novalia Pishesha, tumbuh seperti remaja pada umumnya. Dulu, ia bersekolah di Indonesia hingga jenjang sekolah menengah dan memutuskan untuk menembus Amerika Serikat.

Hingga saat ini, ia mendedikasikan kesehariannya untuk meriset dan mengembangkan inovasi bioteknologi di Amerika Serikat. Bahkan, ia pernah menciptakan kandidat vaksin Covid-19.

Jejak Studi: dari Singosari ke Universitas California

Sebelum melanglang buana ke Negeri Paman Sam, Nova tinggal di Singosari, Jawa Timur. Ia menempuh pendidikan menengah di SMA Katolik Kolese Santo Yusup Malang, Jatim.

Lulus dari sekolah tersebut, Nova mencoba seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN) di Universitas Brawijaya. Jurusan kedokteran yang punya peminat ribuan tiap tahunnya tersebut pun berhasil ditembus Nova.

Namun, karena dirasa tidak sesuai dengan kebutuhannya, ia hanya bertahan sekitar dua bulan. Nova kemudian memutuskan untuk pindah kuliah.

"Universitas Brawijaya, tapi setelah masuk 1-2 bulan nggak cocok. Jadi saya quit. Saya quit terus saya mencari enaknya kalau misalnya mau sekolah di mana," ujar Nova saat dihubungi detikEdu, Rabu (12/11/2025).

Ternyata Nova lebih tertarik belajar bioteknologi. Seraya memikirkan pilihan kampusnya, orang tua Nova menyarankan supaya ia berkuliah di tempat yang dekat dengan saudara atau kenalannya.

Sebuah kebetulan, sang paman tinggal di Amerika Serikat. Sehingga ia memutuskan untuk mencoba kampus di sana.

"Dan saya punya paman yang sayangnya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Beliau ini tinggal di San Francisco. Jadi San Francisco adalah salah satu pilihan ceritanya," katanya.

Dikarenakan terlambat untuk mencoba masuk kampus lewat jalur umum, Nova pun memutuskan untuk mengikuti community college terlebih dahulu. Ia juga berpikir bahwa community college memiliki biaya yang lebih terjangkau.

"Jadi saya ke City College di San Francisco. Dan juga lebih murah daripada langsung ke universitas awal. Nah setelah dari sana, saya masuk sana selama dua tahun," bebernya.

Setelah itu, Nova melanjutkan studi S1 di Department of Bioengineering University of California at Berkeley. Saat itu, Nova mengaku sangat beruntung karena biaya pendidikannya dibantu dengan beasiswa.

"Dan karena sebenarnya saya nggak mampu sih bayar uang sekolah di sana. Tapi di Universitas California di Berkeley beruntungnya ngasih saya full scholarship," kata Nova.

Diusulkan sebagai Harvard Junior Fellow

Perjalanan sebagai peneliti pun dimulai di negeri yang sama. Nova menjalani program fast track dari S1 langsung ke S3 di Department of Biological Engineering, Massachusetts Institute of Technology (MIT).

"Karena kalau di Amerika itu bisa langsung dari S1 bisa langsung S3. Walaupun punya pengalaman riset. Jadi kemudian saya apply ke MIT salah satunya. Dan diterima di MIT juga dan dapet beasiswa penuh dari sana juga," ujarnya.

Gayung bersambut, peluang Nova menjadi peneliti semakin terbuka lebar setelah MIT menominasikan dirinya sebagai Junior Fellow di Harvard. Bakatnya sebagai peneliti semakin terbukti karena tak semua mahasiswa S3 dapat jadi Harvard Junior Fellow.

Harvard Junior Fellow dikenal sebagai program yang sangat prestisius di dunia akademik. Program ini melahirkan banyak profesor besar dan pemenang penghargaan Nobel.

"Jadi Harvard Junior Fellow itu kamu harus punya S3. Jadi ya biasanya itu berarti kamu sekolah S3 di sekolah yang top rank, top rank university dan kamu juga harus dinominasikan oleh profesor kamu," tuturnya.

Sejak 2024, Nova sibuk sebagai Principal Investigator di Division of Immunology, Boston Children's Hospital. Selain itu juga menjadi Assistant Professor di Harvard Medical School, dan Associate Member di Broad Institute.

Kembangkan Inovasi-Bangun Lab Terapi Kanker

Kala pandemi melanda berbagai negara pada 2019, Nova tak diam. Sebagai periset ia mencoba formula untuk membuat vaksin corona yang bisa mudah dan murah diproduksi.

Dengan teknologi nanobodi, Nova menambahkan komponen vaksin hasil pengembangan pengobatan penyakit autoimun. Vaksin buatan Nova mengandung dua komponen dasar yakni antibodi dari hewan alpaka dan bagian dari paku protein virus SARS-Cov-2.

Kecintaan terhadap riset Nova terus buktikan, contohnya dengan mendirikan laboratorium bernama Cerberus Therapeutics dan Orthrus Therapeutics. Lab tersebut fokus mengembangkan terapi-terapi baru untuk kanker dan penyakit kronis lain.

"Kalau Cerberus, fokusnya di developing terapi-terapi baru untuk prevent disease dan cancer. Kalau Ortrus, terapi baru untuk penyakit autoimun," kata Nova.

Di Cerberus, Nova sempat menjabat CEO selama dua tahun. Akan tetapi, ia kemudian melepaskan jabatan tersebut karena sebagai peneliti di Harvard tidak bisa memegang C-level.

Saat ditanya soal pulang kampung ke Indonesia, Nova mengaku belum memikirkannya terlalu jauh. Ia masih bermimpi untuk mengembangkan labnya tersebut.

Ia juga menyebut, situasi di Amerika Serikat menjadikannya lebih memungkinkan untuk mengembangkan lab bioteknologi. Nova melihat peluang tersebut belum banyak di Indonesia.

"Karena environment jadi kayak posisi saya di Boston yang banyak universitas, banyak rumah sakit dan semuanya sangat riset oriented. Dan bahkan kalau kembali ke Indonesia kayaknya i need to find a new job," katanya.

Menurutnya, untuk membangun laboratorium bioteknologi di Indonesia punya tantangan yang lebih besar. Ia berpendapat lebih sulit dalam menghimpun tim untuk mensukseskan labnya.

"Jadi kalau misalnya mau nyari biotech, bangun biotech itu gak sendiri. Kamu pun perlu CFO, kamu perlu CTO, kamu perlu legal firm. Jadi kalau misalnya mau bangun itu di Indonesia akan sulit," katanya.

Pesan bagi Anak Muda yang Ingin Jadi Periset

Kiprah Nova sebagai peneliti di kampus top Amerika tidaklah singkat. Ia sudah menemukan jejaknya di sana hampir 13 tahun.

Nova yakin dengan kemampuan keras dan usaha yang konsisten, anak muda lain di Indonesia bisa menyusul karier seperti dirinya. Nova melihat mahasiswa-mahasiswa asal Asia termasuk Indonesia punya citra yang baik di sana.

"Saya rasa orang Asia dan orang India, orang India dan orang China bagus. Orang Korea Selatan juga banyak. Jadi banyak juga kolega saya yang profesor-profesor orang Korea itu banyak banget. Orang China juga banyak banget. Orang India juga banyak banget," katanya.

Nova memotivasi anak muda yang ingin mengikuti jejaknya untuk tidak minder. Pasalnya, banyak mahasiswa asal Indonesia yang memiliki prestasi bagus di universitas-universitas Amerika.

"Banyak dari mereka sangat pintar. Jadi kayak bahkan anak-anak Indonesia. Nggak hanya saya ya. Jadi kayak ada anak MIT yang orang Indonesia. Dan mereka graduate top of their class walaupun mereka sekolah sampe SMA di Indonesia juga," tuturnya.

Menurutnya, kunci untuk bisa bertahan dan berkembang di lingkungan akademik atau riset Amerika Serikat adalah pandai menjalin komunitas. Kemudian, tak lupa bekerja cerdas dan selalu ramah dan terbuka dengan banyak kesempatan.

"Do well, work hard. Work smart, build your community. And your network with other people," pesannya.



Simak Video "Video Mobil Terbakar di Km 88 Tol Singosari Malang"

(cyu/pal)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork