Mengintip Inovasi Dosen Farmasi UGM yang Antarkan Menjadi Top 2% Ilmuwan Dunia

ADVERTISEMENT

Mengintip Inovasi Dosen Farmasi UGM yang Antarkan Menjadi Top 2% Ilmuwan Dunia

Novia Aisyah - detikEdu
Sabtu, 11 Okt 2025 19:00 WIB
Eka Noviana dosen UGM
Eka Noviana, dosen Farmasi UGM. Foto: Novia Aisyah/detikcom
Jakarta -

Muda dan berprestasi, Eka Noviana dosen Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi salah satu dari World's Top 2% Scientist versi Stanford University dan Elsevier. Di sisi lain, ia menilai dirinya sebenarnya masih pemula.

Eka berhasil masuk dalam jajaran ini karena banyaknya sitasi yang ia dapatkan dalam setahun. Ia berhasil memperoleh pencapaian ini lantaran penelitiannya berupa paper-based analytical device (PAD) atau alat uji analitik berbasis kertas.

Perempuan sains ini memiliki konsentrasi dalam bidang analitik. Ia memiliki ketertarikan dalam riset untuk mendeteksi sesuatu, seperti bahan berbahaya misalnya, dan dalam berbagai jenis sampel.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat detikEdu mengunjunginya pada Sabtu (11/10/2025), Eka menunjukkan alat yang dibuatnya dalam mendeteksi kandungan berbahaya dalam makanan. Keunggulan alat yang diciptakan oleh Eka adalah dapat digunakan untuk deteksi cepat di lapangan, sehingga tidak perlu laboratorium untuk mengaplikasikannya.

"Kita juga ingin di bidang klinis itu, misalnya kalau familiar dengan gula, kolesterol, dan sebagainya, kita juga ingin mengembangkan, jadi yang dideteksi tidak hanya itu, tapi bisa dideteksi langsung di tempat lain," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Alat Ramah Pengguna Awam

Eka memang memiliki niat mengembangkan suatu metode yang bisa diaplikasikan untuk pengguna yang tidak punya latar belakang dari laboratorium serta fleksibel dalam segi biaya maupun fasilitas.

"Nah, kita coba mengembangkan metode yang itu bisa digunakan langsung di lapangan, harapannya cukup ramah digunakan oleh pengguna yang tidak punya background lab. Jadi tujuannya seperti itu, gimana caranya kita membuat alat deteksi itu lebih aksesibel, baik dari segi biaya maupun segi fasilitas, jadi yang tidak butuh alat besar, tidak butuh dicolokin ke listrik, bisa dibawa ke lapangan, ceritanya seperti itu," ungkapnya

"Apalagi Indonesia ini negara kepulauan, tidak semuanya itu bisa mengakses alat laboratorium, kadang juga listrik mungkin terkendala. Jadi kalau kita bisa bawa ini ke lapangan, itu akan sangat berguna. Kita sebutnya resource limited setting. Intinya lokasi-lokasi yang akses terhadap sumber daya, resource itu terbatas," lanjutnya.

Eka Noviana dosen UGMEka Noviana dosen UGM Foto: Novia Aisyah/detikcom

Tak Perlu Bahan Uji Berjumlah Banyak

Eka menjelaskan, alatnya ini tidak membutuhkan materian dalam volume besar untuk diuji. Sehingga, cukup misalnya satu tetes atau beberapa mikroliter, sesuatu sudah dapat dites.

"Dan kalau kita lihat dari segi chemical waste atau sampah kimia, sampah kimia itu kan concern (menjadi perhatian) ya. Jadi kalau kita bisa meminimalkan waste sekecil mungkin, kita bisa menggunakan material yang gampang decompose-nya, kayak kertas itu kan gampang sekali kita membuangnya, ringan, dan sebagainya. Ini akan sangat aplikatif," paparnya.

Ada Rencana Dipatenkan?

Eka menyampaikan, ada rencana agar alat ujinya dipatenkan dan dipasarkan di masyarakat. Saat ini pihaknya tengah melakukan optimasi. Penelitiannya juga mendapat pendanaan dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek).

"Harapannya nanti kita bisa, kalau prototipe-nya sudah jadi, kita patenkan, kemudian kita menggandeng mitra, kita testing langsung di lingkungan, kita reoptimasi, kita validasi, sehingga harapannya tadi bisa dipakai langsung," ucapnya.

Cerita inspiratif Eka ini turut membuatnya diganjar hibah berupa dukungan fasilitas pembelajaran seperti penunjang riset dan sebagainya senilai Rp 25 juta dari ParagonCorp. Program ini turut didukung oleh Kemdiktisaintek.




(nah/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads