Atlas yang kerap kita lihat di sekolah maupun di rumah ternyata melalui proses panjang sebelum akhirnya bisa dibaca dengan mudah. Hal ini disampaikan oleh Surveyor Pemetaan Ahli Muda Badan Informasi Geospasial (BIG), Randhi Atiqi.
Hal itu ia ungkap dalam acara Peluncuran Buku Atlas Indonesia dan Dunia oleh Penerbit Erlangga di Jakarta International Convention Center (JICC). Ia sendiri merupakan penulis dari buku atlas tersebut.
Menurut Randhi, pembuatan atlas secara umum melalui tiga tahap utama, yakni pengumpulan data, pengolahan, dan penyajian. Pembuatan sebuah atlas ini ternyata memakan waktu yang panjang hingga satu tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proses di Balik Pembuatan Atlas
Proses pembuatan atlas diawali dengan pengumpulan dari berbagai sumber, mulai dari radar untuk permukaan daratan, sonar untuk dasar laut, hingga citra satelit dan drone untuk detail seperti jalan, rel kereta, bandara, hingga pelabuhan.
"Pertama adalah proses pengumpulan datanya, jadi kita mengumpulkan dulu data-data yang kita ingin membuat peta itu. Kemudian proses pembuatan," jelasnya di JICC, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (25/9/2025).
Data utama atlas bersumber dari data relief dunia. Data tersebut terbagi menjadi dua yakni relief darat dan laut.
"Data ini kemudian dipilah sesuai kebutuhan, diolah, lalu masuk ke tahap desain visual. Mulai dari pemilihan warna, simbol, hingga tata letak agar mudah dipahami pembaca,"
Tantangan terbesar lanjut Randhi dalam pembuatan atlas ini, adalah menyeleksi data. Indonesia memiliki lebih dari 80 ribu desa dan 17 ribu pulau, yang tentu tidak mungkin ditampilkan semua dalam satu atlas.
"Banyak tantangannya yang saya sebutkan. Saya merasa tertantang untuk memilih yang mana nih sebaiknya yang kita ambil. Karena ada perasaan kalau dibuang sayang gitu," kata Randhi.
"Kadangkala ada suatu kondisi tertentu, data yang dibutuhkan, data yang dari satelit itu tidak sebaik data yang dikumpulkan dari penggunaan pesawat ataupun drone," tambahnya.
Oleh karena itu, diperlukan seleksi agar informasi tetap ringkas, tetapi tetap akurat dan komprehensif. Setelah membeberkan proses pembuatan atlas, Randhi menegaskan bahwa atlas berbeda dengan peta biasa.
Jika peta hanya menampilkan gambaran satu wilayah pada satu lembar, atlas merupakan kumpulan peta yang disusun menjadi buku lengkap dengan alur cerita sesuai tema. Dengan disusunnya atlas terbaru ini, Randhi berharap tidak hanya menjadi bahan bacaan, tetapi juga sarana meningkatkan literasi geospasial.
"Atlas membantu kita memahami luasnya wilayah Indonesia, kekayaan sumber daya, potensi bencana, hingga peluang pembangunan. Literasi ini penting, bukan hanya untuk pelajar, tapi juga masyarakat luas," ujarnya.
Ia menambahkan, pemahaman geospasial juga bermanfaat dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan, asuransi, hingga pertahanan negara.
Keunggulan Atlas Dibandingkan Peta Digital
Sementara itu, guru sekaligus Ketua MGMP Geografi Provinsi DKI Jakarta, Denny Wamardi, menilai atlas masih memiliki keunggulan dibanding peta digital. Menurutnya, peta fisik dalam atlas memberi kejelasan visual dan minim distraksi, sehingga lebih efektif dalam pembelajaran.
"Atlas bisa menggabungkan data spasial, sejarah, hingga kebudayaan dalam satu buku. Ini sangat membantu siswa memahami geografi dan mengenal Indonesia lebih dekat," katanya.
Dengan proses yang panjang dan teliti, atlas hadir bukan sekadar kumpulan peta, tetapi juga media pembelajaran yang kaya informasi.
Randhi berharap, setiap keluarga dan sekolah memiliki atlas agar anak-anak Indonesia tumbuh dengan pemahaman geospasial yang kuat dan rasa cinta tanah air yang mendalam.
Melalui Atlas Indonesia dan Dunia yang dibuatnya bersama Penerbit Erlangga, Randhi berkomitmen dalam mendukung pendidikan geografi serta literasi spasial di Indonesia.
Atlas ini tidak hanya berfungsi sebagai sumber belajar di kelas, tetapi juga sebagai referensi penting bagi masyarakat luas untuk memahami peta, fenomena alam, serta keanekaragaman budaya Indonesia dalam konteks global.
(cyu/nwk)