Gelombang aksi yang terjadi di Indonesia dan Nepal tak lepas dari peran Generasi Z (Gen Z). Dengan caranya sendiri, Gen Z turun ke jalan untuk melawan ketidakadilan hingga menjadi sorotan dunia.
Melihat hal tersebut, pakar sekaligus Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Faturochman beri tanggapan. Menurutnya, protes besar yang melibatkan anak muda, dapat dijelaskan melalui perspektif psikologi sosial, khususnya teori deprivasi relatif.
"Ini yang disebut deprivasi relatif, yakni ketika masyarakat membandingkan kehidupannya dengan pejabat yang hidup mewah, mereka merasa ada ketidakadilan di sana," tuturnya dikutip dari laman resmi UGM, Selasa (16/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suara Anak Muda Harus Didengar
Kerap memiliki stereotip yang dianggap lemah atau mudah menyerah, Gen Z dinilai memiliki peran penting terhadap aksi protes di Nepal atau pun Indonesia. Generasi ini terbiasa terpapar informasi dan teknologi, sehingga mereka pasti tahu betul kondisi negara dan ketidakadilan yang terjadi.
Alih-alih mudah menyerah, Gen Z menunjukkan keberanian untuk turun ke jalan. Sosok yang akrab dipanggil Fatur itu menjelaskan bila Gen Z punya karakteristik senang mencari pengakuan.
Bukan suatu hal yang buruk, karakteristik ini membuat sebagian Gen Z berani mengekspresikan sikapnya di ruang publik. Oleh karena itu, mereka mampu menunjukkan respons yang lebih intens terhadap isu ketidakadilan dibandingkan generasi milenial.
"Milenial cenderung lebih terstruktur, sementara Gen Z lebih spontan dalam menunjukkan identitas dirinya. Ketika mereka merasa diremehkan atau diinjak, cara responnya cenderung secara langsung," urai Prof Fatur.
Dengan demikian, Prof Fatur mengingatkan pentingnya menjaga energi perlawanan agar tetap konstruktif. Diperlukan dialog lintas generasi agar ditemukan solusi yang pasti, sehingga aksi protes tidak berubah menjadi kekerasan destruktif.
"Anak muda harus didengar aspirasinya. Tidak harus selalu diterima, tapi setidaknya dihargai dan didengarkan. Dengan begitu, rasa saling percaya antar generasi bisa tumbuh," paparnya lebih lanjut.
Demonstrasi Gen Z di Nepal
Secara khusus, Fatur menyoroti keadaan demonstrasi Gen Z di Nepal. Protes besar-besaran itu bisa terjadi karena kondisi sosial-ekonomi negara yang timpang.
Di Nepal, juga terjadi kondisi masyarakat yang benar-benar kesulitan atau tidak mampu memenuhi kondisi dasar. Hal ini dikenal dengan fenomena deprivasi absolut.
"Kedua kondisi yang muncul pada waktu yang bersamaan ini membuat demonstrasi tidak terhindarkan, terlebih didukung oleh kelompok vokal yang berani bersuara (Gen Z),"jelasnya.
Alih-alih menjawab aksi protes, pemerintah Nepal sempat mengeluarkan kebijakan dalam membatasi penggunaan media sosial. Kebijakan ini memperbesar kemarahan karena suara publik menjadi tidak tersalurkan.
Kemarahan itu kemudian tidak membendung anak muda di kota besar seperti Kathmandu turun ke jalan. Mereka menyampaikan kritik secara langsung atau pun tetap mencari cara untuk melaporkan kondisi Nepal di ruang digital.
Melihat kondisi ini, Fatur menekankan bila krisis kepercayaan kepada pemerintah bisa muncul kapan saja. Terutama, bila kesenjangan sosial-ekonomi terus dibiarkan.
"Generasi muda dengan energi dan keberaniannya, bisa menjadi agen perubahan sekaligus pengingat bahwa tujuan utama kekuasaan politik adalah guna menghadirkan kesejahteraan publik," tandasnya.
(det/nwk)