Rumah yang Terbelah: Suara Diaspora di Antara Luka Bangsa

ADVERTISEMENT

Rantau Vibes

Rumah yang Terbelah: Suara Diaspora di Antara Luka Bangsa

Fazhaliani Shariffa - detikEdu
Kamis, 04 Sep 2025 21:00 WIB
Aksi Berlin Bergerak oleh Diaspora Indonesia di Jerman
Foto: (Aksi Berlin Bergerak oleh Diaspora Indonesia di Jerman/Rizki Pramadhan)
Jakarta -

Rumah, sebutan bagi setiap tempat yang pernah saya singgahi, yang kadangkala lebih nyaman dan terasa lebih baik. Yang saya sering ucap secara naluriah sewaktu ibu menelpon, atau ketika jam kantor usai.

Tinggal di Malaysia sebagai pijakan kedua dan memikul julukan diaspora Indonesia seringkali membuat saya merasa hidup di dua dunia yang berbeda. Di sini, saya bisa mengakses pendidikan dengan baik, hidup di lingkungan yang relatif stabil, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa banyak kesulitan. Namun setiap kali membuka kabar dari tanah air, hati saya terhimpit rasa bimbang: keluarga dan masyarakat di Indonesia tengah berjuang keras menghadapi gejolak ekonomi dan sosial. Seakan-akan saya hidup 'terlalu nyaman' sementara mereka di tanah air harus berjuang keras.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kondisi Indonesia belakangan ini memang menimbulkan kekhawatiran. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2025 hanya mencapai 4,87%, angka terendah dalam lebih dari tiga tahun terakhir (Reuters, 2025). Meski pada kuartal kedua naik menjadi 5,12%, ketidakpastian tetap membayangi, terutama bagi masyarakat kecil yang langsung merasakan imbas harga pangan dan kebutuhan pokok yang terus merangkak naik.

Di tengah situasi itu, gelombang protes meluas. Banyak warga menilai jurang ketidakadilan semakin lebar: elit politik menikmati fasilitas mewah, sementara rakyat harus berhemat hingga titik paling dasar. Financial Times mencatat, anggota DPR mendapat tunjangan rumah senilai USD 3.000 (sekitar Rp 49 juta) per bulan, sepuluh kali lipat upah minimum di Jakarta, sementara sebagian besar rakyat masih berkutat dalam keterbatasan (Financial Times, 2025).

ADVERTISEMENT

Ketidakadilan yang terasa kasat mata inilah yang membuat masyarakat turun ke jalan, dan bagi saya yang hidup di luar negeri, berita-berita itu menimbulkan luka batin tersendiri. Sebab, wajah-wajah yang ada di balik statistik itu bukan hanya sekadar 'angka ekonomi', melainkan layaknya keluarga saya sendiri di rumah.

Diaspora sebagai Jembatan Kritik dan Harapan

Aksi Berlin Bergerak oleh Diaspora Indonesia di JermanAksi Berlin Bergerak oleh Diaspora Indonesia di Jerman Foto: (Aksi Berlin Bergerak oleh Diaspora Indonesia di Jerman/Rizki Pramadhan)

Peran diaspora Indonesia, terutama mahasiswa, sesungguhnya bukan hal baru. Sejarah mencatat bagaimana tokoh seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, yang kala itu belajar di Belanda, menjadi motor intelektual bagi pergerakan kemerdekaan. Kini, perannya berubah, tetapi esensinya sama: menjaga arah bangsa. Ketika Indonesia dilanda ketidakpastian politik-terutama terkait protes, kritik terhadap kekerasan negara, dan koreksi aturan demokrasi-diaspora punya peran substansial untuk menjaga denyut demokrasi tetap berdenyut.

Pelajar diaspora tidak berada di bawah komando pemerintah, tetapi memiliki posisi independen, ilmiah, dan non-partisan. Artinya, diaspora justru bisa memainkan peran kritis: menyuarakan keresahan, mengawal demokrasi, dan memberikan masukan berbasis perspektif global. Contohnya dapat dilihat dalam sikap Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia yang merespons situasi demokrasi Indonesia belakangan hari terakhir.

Narasi yang Berkelanjutan: Dari Kolektif ke Individual

Aksi Berlin Bergerak oleh Diaspora Indonesia di JermanAksi Berlin Bergerak oleh Diaspora Indonesia di Jerman Foto: (Aksi Berlin Bergerak oleh Diaspora Indonesia di Jerman/Rizki Pramadhan)

Dukungan diaspora tidak selalu terang. Tapi ini wujud nyata partisipasi politik-publik, emosional, dan efektif. Ini bukan hanya soal menyuarakan kritik terhadap kekuasaan, tetapi membentuk jaringan sosial-politik dalam menjaga demokrasi.

Dari New York hingga Melbourne, mahasiswa dan warga Indonesia menggelar aksi solidaritas, membawa spanduk penolakan terhadap kemunduran demokrasi dan menegaskan bahwa suara rakyat di tanah air tidak berdiri sendirian. Lebih lanjut, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Malaysia, Prancis, Austria, hingga Tunisia menyatakan protes melalui surat terbuka melalui laman sosial medianya.

Jika suara mahasiswa di kampus, aktivis di jalanan, dan warga di aplikasi pengiriman makanan dapat terhubung dalam narasi kolektif, maka diaspora membawa kesempatan untuk memperluas jangkauan suara itu-baik secara politik maupun simbolik.

Saya percaya, diaspora bukan sekadar orang-orang yang 'mencari kehidupan yang lebih enak di luar negeri'. Kami adalah bagian dari bangsa, dengan kerinduan yang sama untuk melihat Indonesia pulih dan tumbuh adil bagi semua.

Mungkin justru dari rasa bimbang inilah lahir komitmen baru. Bahwa ilmu, pengalaman, dan perspektif yang diperoleh di Malaysia atau negara lain, pada akhirnya harus kembali untuk memperjuangkan demokrasi yang sebenarnya. Karena apa artinya gelar akademis dan pengalaman global, jika pada akhirnya kita gagal menjaga rumah kita sendiri: Indonesia.

*)Fazhaliani Shariffa
Mahasiswa S1 Albukhary International University Malaysia
Kepala Biro Pers, Media & Informasi PPI Dunia 2024/2025

*)Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com ; Hasil kerja sama dengan PPI Dunia

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: #Tanyadetiksport Kenapa Pemain Diaspora Banyak yang Akhirnya Merumput di Indonesia? "
[Gambas:Video 20detik]
(nwk/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads