Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB Unair) Rossanto Dwi Handoyo soroti rendahnya anggaran riset Indonesia. Riset menurutnya menjadi salah satu kunci majunya suatu negara.
Ia mengambil data World Bank 2020 terkait besaran dana riset Indonesia yang hanya 0,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini disebut jauh di bawah rata-rata ketika negara lain menganggarkan 2,67% dari PDB.
"Anggaran 0,2% ini jauh dari ideal. Kalau ingin menjadi negara yang menguasai perekonomian, seharusnya anggaran ini bisa meningkat," tuturnya dikutip dari laman resmi Unair, Selasa (2/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Upaya untuk Menguasai Pasar
Ada dua negara dicontohkan Rossanto yang memiliki anggaran riset lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Kedua negara yang dimaksud adalah Korea dan China.
"Hal ini mendorong negara-negara tersebut menjadi fully industrial karena mereka bisa menciptakan inovasi. Lebih lanjut, inovasi akan mendorong suatu negara mampu menguasai pasar," kata dia lagi.
Rossanto berpandangan, pemerintah RI belum memandang riset sebagai sesuatu yang strategis. Hal ini harus segera diatasi agar terbangunnya ekosistem riset yang memadai.
Ia menyebut, negara-negara yang kini berfokus pada riset memiliki kemungkinan untuk merebut pasar eksisting atau pasar dari negara-negara yang hanya meniru (imitating country). Ketika suatu negara tidak memperhatikan riset dan pembaruan inovasi, akan terjadi technological gap atau kesenjangan teknologi.
"Technological gap ini menyebabkan negara-negara yang kurang riset akan terus menerus melakukan impor kepada negara dengan inovasi riset yang lebih kaya," bebernya.
Untuk mengatasi rendahnya anggaran riset dari pemerintah, Rossanto menyarankan bila kerja sama dengan pihak swasta harus terus dibangun. Ia mencontohkan kerja sama ini dengan cara pemberian insentif riset kepada perusahaan swasta.
"Jadi pemerintah nggak usah membuat anggaran sendiri untuk riset. Tapi pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan," ungkapnya.
Jika suatu perusahaan membuat divisi riset, maka pengeluaran untuk membentuk divisi ini dinilai Rossanto bisa dianggap sebagai deductible tax. Deductible tax adalah salah satu konsep pengurangan secara langsung dari penghasilan kena pajak sebelum penghitungan terjadi.
"Langkah ini dapat menjadi salah satu cara untuk menciptakan ekosistem riset yang baik di Indonesia," tandasnya.
Dana Riset RI di RAPBN 2026
Anggaran riset RI tersebar di berbagai lembaga, termasuk Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) dan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN). Kedua kementerian/lembaga ini bersama berada di bawah pantauan Komisi X DPR RI.
Mengutip arsip detikcom, adapun besaran anggaran riset di kedua lembaga tersebut pada Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2026, yaitu:
1. Kemdiktisaintek Rp 3,26 triliun
Di Kemdiktisaintek, anggaran berada di wewenang Direktorat Riset dan Pengembangan, yang besarannya secara rinci adalah Rp 3.269.730.071.000. Jumlah ini sudah mengalami penambahan dari APBN 2026 yakni sebesar Rp 627,5 miliar khusus riset dan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. BRIN Rp 4,27 triliun
Pada rapat dengan Komisi X DPR RI pada Juli 2025 lalu, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengungkapkan pagu indikatif lembaganya adalah sebesar Rp 4,271 triliun. Anggaran ini akan digunakan untuk program dukungan manajemen beserta program riset dan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun, untuk tahun 2026, Handoko mengajukan tambahan sebesar Rp 4,6 triliun untuk dana abadi penelitian. Usulan tambahan itu kemudian disetujui oleh Komisi X DPR RI dan diserahkan ke Badan Anggaran (Banggar) DPR RI untuk mendapat persetujuan resmi.
(det/nwk)