Publik sedang ramai membahas wacana fasilitas tambahan bagi anggota DPR berupa tunjangan rumah. Kebijakan ini mengikuti penghapusan rumah dinas yang diganti dengan tunjangan rumah hingga ratusan juta per tahun.
Kritikan muncul pada kebijakan itu lantaran kondisi ekonomi masyarakat yang dinilai serba sulit. Publik menilai kebijakan tersebut tidak hanya berdampak pada keuangan negara, tetapi juga menyinggung rasa keadilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi hal tersebut, Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair), Prof Jusuf Irianto menegaskan setiap kebijakan publik harus mempertimbangkan keadilan, etika, dan moralitas. Menurutnya, penolakan masyarakat terhadap kebijakan itu merupakan bentuk aksi yang rasional.
"Di tengah pengetatan anggaran pemerintah, mestinya semua pihak menahan diri untuk tidak bernafsu dan memaksakan demi mementingkan diri dan kelompoknya. Kebijakan memberi tunjangan rumah bernilai jutaan justru dikhawatirkan semakin menyayat hati rakyat. Pemerintah bagai menambah luka di atas luka bagi penderitaan rakyat," tegasnya dalam laman Unair, Jumat (29/8/2025).
Penambahan Fasilitas Dinilai Naif
Lebih lanjut, Prof Jusuf menekankan pentingnya kebajikan dalam setiap kebijakan publik. Ia menilai, penambahan fasilitas bagi anggota legislatif terkesan naif, terlebih dengan persepsi negatif masyarakat terhadap kinerja DPR.
"Kebijakan publik yang baik seharusnya memberi nilai tambah berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum, bukan hanya bagi individu atau kelompok tertentu," ujarnya.
Dari perspektif keadilan sosial,Jusuf menilai pemberian tunjangan rumah hingga ratusan juta tidak sejalan dengan prinsip social equity. Fasilitas itu seharusnya ditinjau kembali agar tidak melukai rasa keadilan masyarakat yang masih menghadapi kesulitan ekonomi.
"Keadilan sosial mencakup penyediaan sumber daya dan dukungan yang memungkinkan semua pihak memperoleh akses setara terhadap layanan pendidikan, ekonomi, kesehatan, maupun kebutuhan primer. Karena itu, kebijakan fasilitas DPR seperti ini perlu dikaji ulang kepantasan dan keberlakuannya," tegasnya.
Perbandingan dengan Negara Maju
Prof Jusuf menyebut fasilitas memang lazim diberikan kepada anggota legislatif di banyak negara. Namun, jumlah dan bentuknya disesuaikan dengan kondisi keuangan negara dan prinsip fairness.
"Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia, anggota legislatif memang menerima gaji pokok, tunjangan perjalanan, serta fasilitas kantor dan staf pendukung. Namun semua itu dirumuskan secara normatif berdasarkan prinsip keadilan dan kemampuan negara. Pemberian tunjangan DPR seperti saat ini sulit diterima akal sehat karena bertentangan dengan kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan Presiden," paparnya.
Prof Jusuf menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan kebijakan. Ia menilai DPR harus lebih peka terhadap kondisi rakyat yang kini menghadapi berbagai tekanan, seperti daya beli yang melemah hingga maraknya PHK dan jeratan pinjol.
(nir/faz)