Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menganugerahkan Sarwono Award 2025 kepada Guru Besar Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Taniawati Supali. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk apresiasi atas dedikasinya dalam penelitian dan pengendalian penyakit tropis terabaikan, khususnya filariasis atau yang lebih dikenal sebagai penyakit kaki gajah.
Upacara penganugerahan Anugerah Talenta Unggul Sarwono Award dan Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture (SML) berlangsung di Gedung BJ Habibie BRIN, Jakarta, Senin (25/8/2025). Selama bertahun-tahun, Taniawati menekuni riset sekaligus penanganan filariasis, penyakit yang banyak ditemukan di wilayah endemis dengan tingkat kemiskinan tinggi.
"Penyakit kaki gajah merupakan salah satu penyakit yang terabaikan dan banyak daerah endemis (penduduknya) miskin. Penyakit ini sulit disembuhkan dengan pengobatan, kalau sudah bengkak atau kronis obat apapun sudah tidak bisa menyembuhkan untuk kembali normal," ujar Taniawati
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Taniawati, pengobatan filariasis sebaiknya dilakukan secara massal sebelum muncul gejala berat. Ia menekankan pentingnya pencegahan dan deteksi dini untuk memutus rantai penularan penyakit di masyarakat.
Kontribusinya tidak hanya terbatas pada penelitian laboratorium. Ia turut mengembangkan diagnostik berbasis PCR dan menerapkan pendekatan komunitas dalam program pengendalian filariasis. Taniawati juga terlibat dalam perumusan program eliminasi nasional, termasuk kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Atas kiprahnya, Taniawati telah meraih sejumlah penghargaan bergengsi internasional, di antaranya dari Bill & Melinda Gates Foundation serta Bosscha Medal dari Leiden Delft Erasmus (LDE).
Dalam sambutannya, Taniawati menyebut Sarwono Award menjadi pemicu semangat baru untuk terus berkarya, terutama bagi masyarakat di daerah tertinggal yang belum memperoleh layanan kesehatan memadai. "Sarwono Award memicu saya untuk berkarya lebih baik lagi di daerah-daerah tertinggal," ujarnya.
Menutup pidatonya, ia mengajak generasi muda dan peneliti muda untuk berkontribusi dalam riset dan inovasi dengan penuh ketulusan. "Kalau kita bekerja di tengah orang miskin, kita harus bekerja dengan hati supaya diterima mereka," kata Taniawati.
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, menyampaikan bahwa penghargaan ini bukan sekadar bentuk apresiasi, melainkan juga strategi untuk membangun budaya ilmiah dan memperkuat ekosistem riset nasional.
"Melalui Sarwono Award dan SML, kita menegaskan kembali pentingnya kontribusi sains bagi bangsa, sekaligus memberi teladan nyata kepada generasi muda untuk terus berkarya dan berinovasi," katanya.
Penyelenggaraan Sarwono Award dan SML memiliki makna historis karena menggunakan nama Prof. Dr. Sarwono Prawirohardjo, Kepala LIPI pertama, yang dikenal sebagai tokoh penting dalam membangun tradisi ilmu pengetahuan di Indonesia. Sejak tahun 2001, SML dan Sarwono Award menjadi ajang bergengsi yang terus menginspirasi dunia akademik, riset, dan masyarakat luas.
Acara ini juga menegaskan komitmen BRIN bersama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk memberikan penghargaan berkelanjutan bagi ilmuwan terbaik bangsa, baik dari internal BRIN maupun eksternal. Kolaborasi ini diharapkan mampu menciptakan iklim riset yang lebih produktif, inovatif, dan berdaya saing di tingkat global.
Selain memberikan penghargaan, kegiatan ini menjadi forum penting untuk mempertemukan berbagai pemangku kepentingan mulai dari akademisi, industri, hingga pemerintah dalam merumuskan arah riset nasional.
Menurut Handoko, di tengah tantangan global seperti perubahan iklim, penyakit menular, dan transformasi digital, Indonesia membutuhkan SDM iptek yang tangguh. "Penghargaan ini adalah pengingat bahwa riset bukan hanya soal publikasi, tetapi juga solusi nyata bagi masyarakat dan bangsa," ujarnya.
(pal/faz)