Polemik mencuat di publik setelah beredar video yang menampilkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) seolah-olah menyebut guru sebagai 'beban negara'. Meski video tersebut diklarifikasi sebagai hoaks oleh sang menteri, pertanyaan asli dalam versi utuh video tetap menuai kritik tajam dari sejumlah pihak.
Termasuk salah satunya Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Dalam video aslinya, SMI tidak secara eksplisit menyebut guru sebagai beban negara, tetapi mempertanyakan sejauh mana pendanaan gaji dan tunjangan guru harus ditanggung oleh negara.
"Klaster kedua adalah untuk guru dan dosen dan itu belanjanya dari mulai gaji sampai dengan tunjangan kinerja tadi. Banyak di media sosial saya selalu mengatakan, 'Oh, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya enggak besar.' Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara. Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat?" demikian kutipan pertanyaan Menkeu dalam acara Konvensi Sains dan Teknologi Industri Indonesia (KSTI) 2025 di Gedung Sabuga ITB, Jawa Barat pada (7/8/2025) yang bisa dilihat dalam YouTube ITB (https://www.youtube.com/watch?v=OOYGx6Us08Q) menit ke 57:16.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
JPPI menilai pertanyaan tersebut justru mengindikasikan masalah lebih mendalam terkait cara pandang negara terhadap profesi guru. Menurut Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, pertanyaan tersebut mencerminkan tiga persoalan utama dalam kebijakan anggaran pendidikan nasional.
Ketidakpahaman terhadap Kewajiban Konstitusional
Menurut UUD 1945, pemerintah wajib mengalokasikan minimal 20% dari APBN untuk pendidikan, termasuk di dalamnya untuk gaji dan tunjangan tenaga pendidik. Sehingga pernyataan Sri seolah menunjukkan ada ketidakpahaman atas kewajiban negara.
"Pertanyaan tentang partisipasi masyarakat dalam pembiayaan ini sama saja dengan melepaskan tanggung jawab negara," tegas Ubaid dalam keterangannya, Kamis (21/8/2025).
Beban APBN Bukan Guru, tapi Ketidaktepatan Alokasi
Kedua, Ubaid menilai bahwa masalah anggaran negara bukan karena guru, tetapi karena alokasi yang tidak tepat sasaran. Ia menyoroti kecenderungan pemerintah yang lebih mengutamakan program Makan Bergizi Gratis (MBG), ketimbang kesejahteraan guru.
"Akibatnya, banyak guru, seperti guru madrasah, harus menunggu antrean lebih dari 50 tahun untuk mendapatkan sertifikasi dan tunjangan profesi, sebuah fakta ironis di tengah klaim pemerintah tentang perhatiannya pada Pendidikan," ujar Ubaid.
JPPI menyebut beban sesungguhnya bagi negara adalah para pejabat yang korupsi, bukan para guru. Ubaid menyoroti bagaimana pejabat yang terbukti korup tetap menikmati gaji dan pensiun, sementara guru terus berjuang dengan kesejahteraan minim.
"Anggaran pendidikan yang seharusnya dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan kualitas pengajaran, justru habis karena praktik korupsi, membuat negara sulit memenuhi kewajiban konstitusionalnya," katanya.
Pernyataan Menkeu Picu Miskonsepsi
Alih-alih menjabarkan kondisi kesejahteraan para guru, SMI terkesan menimbulkan miskonsepsi. Seperti dikatakan oleh pengamat pendidikan sekaligus Ketua Yayasan Guru Belajar, Bukik Setiawan.
Pasalnya, partisipasi masyarakat dalam pendidikan selama ini memang sudah ada tetapi lebih realistis. Seperti untuk penyediaan lahan, pembangunan fasilitas, atau kegiatan sosial.
"Guru dan dosen adalah komponen pendidikan yang paling kompleks dan sulit karena perlu standar kompetensi dan pengukuran kinerja. Lebih kompleks dibandingkan semisal wakaf tanah untuk pendidikan, menyumbang kebun kayu untuk pembangunan kelas, urunan untuk membangun MCK di sekolah almamater atau komponen lain," kata Bukik.
Ketika SMI mengutarakan pernyataan "Apakah semuanya harus keuangan negara atau ada partisipasi dari masyarakat?" hal itu mengesankan bahwa klaster 2 terkait pendapatan guru dan dosen adalah beban negara.
β β "Jadi layak dipertanyakan, mengapa SMI bertanya seperti itu hanya pada klaster 2 bukan keseluruhan anggaran pendidikan? Pertanyaan yang sangat mengesankan bahwa klaster 2 terkait pendapatan guru dan dosen adalah beban negara," tutur Bukik
Menkeu Perlu Klarifikasi Pernyataannya
Saat ini masyarakat masih menyorot pernyataan Menkeu terkait guru dan dosen. Sehingga Bukik menyarankan agar SMI melakukan klarifikasi, tak hanya membantah video yang hoaks.
"Jadi Sri Mulyani harus mengklarifikasi bukan sekedar membantah pernyataan yang viral itu hoax. Tapi harus menjelaskan mengapa pertanyaan itu hanya ditanyakan pada saat membahas guru dan dosen?," ujar Bukik.
Ubaid pun mendesak pemerintah agar mengubah cara pandang tersebut. Ia menegaskan, guru bukanlah beban negara atau komoditas yang bisa dimurah-murahkan.
"Guru bukanlah beban negara, melainkan jantung dari investasi bangsa dan pembangun peradaban, yang pantas dihargai dan disejahterakan, bukan hanya secara finansial tetapi juga secara martabat," pungkas Ubaid.
(cyu/nwk)