Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang rendahnya gaji guru dan dosen menuai banyak respons dari masyarakat. Hal itu, Sri katakan saat acara Konvensi Sains dan Teknologi Industri Indonesia (KSTI).
"Banyak di media sosial saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya nggak besar, ini salah satu tantangan bagi keuangan negara," di Sasana Ganesha Budaya (Sabuga) ITB, Bandung, Jawa Barat pada (7/8/2025).
Kemudian, Sri mempertanyakan apakah soal gaji dosen dan guru ini diperlukan bantuan dari masyarakat. Hal tersebut menjadi pertanyaan juga di mata masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat," katanya.
Ucapan Menkeu Terkesan Lempar Tanggung Jawab
Pihak yang turut menyoroti pembicaraan Menkeu tersebut adalah Sri Lestari, pakar pendidikan dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya. Ia telah banyak meneliti soal discourse analysis, conversation analysis, dan literacy development.
Menurut Sri, guyonan semacam itu terkesan tidak empatik dan melempar tanggung jawab. Adapun guyonan soal jenis-jenis dosen menurut Sri dapat menimbulkan kasta di kalangan dosen.
"Dosen di Indonesia tidak hanya menjalankan penelitian, tetapi juga pengajaran dan pengabdian masyarakat, ditambah beban administratif yang besar. Pertanyaannya, apakah indikator kinerja yang selama ini digunakan sudah adil, transparan, dan tidak memberatkan?" ujar Sri dalam laman UM Surabaya, dikutip Sabtu (16/8/2025).
Bisa Timbulkan Privatisasi Pendidikan
Selain itu, Sri juga menilai ucapan demikian dapat menimbulkan privatisasi pendidikan. Meskipun privatisasi atau keterlibatan pihak swasta di negara lain sudah lazim, tapi menurutnya di Indonesia masih menjadi ketimpangan.
Hal tersebut juga akan menimbulkan perguruan tinggi yang sudah punya reputasi kuat akan semakin dapat dukungan. Sedangkan kampus di daerah akan semakin tertinggal.
Privatisasi pendidikan berpotensi membuat biaya pendidikan mahal dan akses terbatas. Misalnya pada Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), tugas dosen menjadi lebih banyak mengajar mahasiswa asing daripada melakukan penelitian atau pengabdian masyarakat.
"Perlu ada reformasi menyeluruh terhadap indikator kinerja dosen agar lebih berkualitas, berdampak, kompetitif, dan manusiawi. Penilaian tidak hanya berbasis kuantitas publikasi, tetapi pada kualitas, manfaat, dan dampaknya terhadap kesejahteraan dosen dan kemajuan Indonesia," tegasnya.
Di Indonesia, Sri melihat gaji dosen dan guru masih tak sebanding dengan beban kerja. Sehingga menurutnya fokus dalam hal ini adalah bagaimana kita menempatkan pendidikan sebagai fondasi utama.
(cyu/faz)