Fenomena Pengangguran Muda di China: Sewa Kantor untuk 'Pura-pura Bekerja'

ADVERTISEMENT

Fenomena Pengangguran Muda di China: Sewa Kantor untuk 'Pura-pura Bekerja'

Nograhany Widhi Koesmawardhani - detikEdu
Kamis, 14 Agu 2025 10:00 WIB
A man sings for customers touring the Erhai lake on a sightseeing bus, in Dali, Yunnan province, China November 10, 2023. REUTERS/Florence Lo
Ilustrasi (Foto: REUTERS/Florence Lo)
Beijing -

Ada fenomena baru di China. Pengangguran muda sewa kantor co-working space untuk 'pura-pura bekerja'. Bagaimana maksudnya?

Tren ini terjadi di tengah ekonomi yang lesu dan lapangan kerja yang semakin sempit di China. Angka pengangguran muda di China lebih dari 14%, demikian dilansir BBC pada Senin (11/8/2025), dikutip Kamis (14/8/2025).

Fenomena keresahan ini ditangkap peluangnya oleh beberapa warga China dan membuatnya menjadi suatu bisnis. Banyak yang membuka kantor, semacam co-working space untuk work from anywhere (WFA), namun diisi oleh mereka yang masih belum mendapatkan atau sedang mencari pekerjaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

Mereka yang masih pengangguran bisa memanfaatkan kantor untuk 'pura-pura bekerja' ini selama jam kantor dengan membayar mulai dari 30 Yuan hingga 50 Yuan (Rp 67 ribu sampai Rp 112 ribu) per hari. Layanan yang didapatkan adalah ruang kantor hingga mendapatkan fasilitas makan siang.

"Dengan 29,9 yuan per hari, Anda bisa 'bekerja' di sini dari pukul 10.00 hingga 17.00, sudah termasuk makan siang," kata pengguna internet membagikan video sebuah ruang kantor dan mengiklankannya sebagai 'solusi tersembunyi' buat mereka yang malu menjadi pengangguran, demikian dilansir South China Morning Post (SCMP).

Pengguna internet anonim lainnya mempromosikan layanan serupa, dengan biaya 50 yuan bagi klien untuk berpura-pura menjadi 'bos' di kursi kulit dan berfoto untuk menenangkan keluarga mereka.

"Banyak perusahaan besar yang memberhentikan karyawan. Saya punya kantor kosong dan berpikir ini bisa memberi para pengangguran ruang untuk tinggal dan terhubung," tulis pengguna internet itu.

Menjual Martabat

Salah satu pemilik co-working space bernama Pretend To Work Company di Kota Dongguan adalah Feiyu (nama samaran), berusia 30 tahun.

"Yang saya jual bukanlah meja kerja, melainkan martabat agar tidak dianggap sebagai orang yang tidak berguna," ujar Feiyu.

Feiyu yang bisnis ritelnya gulung tikar pada pandemi COVID mengaku mengalami depresi hingga merusak diri sendiri.

"Anda ingin membalikkan keadaan, tapi Anda tidak berdaya," ujarnya.

Pada April 2025 lalu, Feiyu mulai mengiklankan Pretend To Work Company. Dalam sebulan, semua meja kerja di ruang kantor rekaannya penuh.

Mayoritas pelanggannya adalah pekerja lepas. Banyak di antara mereka adalah nomaden digital, seperti yang bekerja untuk perusahaan e-commerce besar dan penulis dunia maya.

40% Pelanggannya adalah lulusan universitas. Mereka datang untuk berfoto dan mendapatkan bukti pengalaman magang sebagai syarat menerima ijazah. Sedangkan Sebagian kecil pelanggannya datang untuk mengatasi tekanan dari orang tua.

Keseharian Pengangguran 'Pura-pura Kerja'

Jiawei, mantan karyawan e-commerce dari Hangzhou di China timur, mengatakan bahwa setelah perusahaannya bangkrut, ia menghabiskan hari-harinya di kedai kopi untuk melamar pekerjaan dan mengirimkan resume.

"Pengangguran memang membuat stres, tetapi saya tidak ingin menularkan hal negatif itu kepada keluarga saya," ujarnya kepada media China, Yunxi Technology.

Jiawei meninggalkan kedai kopi pada jam pulang kerja seperti biasanya, sesekali pulang larut malam untuk 'berpura-pura' lembur.

Sementara Shui Zhou (30), warga Kota Dongguan, China memilih duduk di meja dari pukul 09.00 hingga 23.00, menyeruput teh, mengobrol dengan 'rekan kerja', dan terkadang bahkan lembur untuk kegiatan 'pura-pura bekerja'-nya.

Fenomena Terisolasi Selain 'Rat People'

Para ahli mengatakan bahwa 'berpura-pura bekerja' merupakan 'fenomena yang terisolasi' di China.

"Masyarakat memberi banyak tekanan pada orang untuk sukses, dan kaum muda terkadang menetapkan ekspektasi pekerjaan mereka terlalu tinggi. Kejutan mendadak karena kehilangan pekerjaan dapat menyebabkan depresi," ujar Zhang Yong, seorang profesor pekerjaan sosial di Universitas Sains dan Teknologi Wuhan kepada The Post.

Zhang menyarankan para pengangguran untuk mencari konseling profesional alih-alih menyembunyikan kesulitan mereka.

"Mereka perlu melihat situasi mereka secara jujur, memahami pasar kerja, terbuka dengan keluarga, dan membangun pola pikir yang lebih sehat tentang pilihan karier," tambahnya.

Selain tren 'pura-pura bekerja', ada tren 'rat people' di kaum muda China alias 'manusia tikus'. Mereka secara aktif menghindari kesuksesan dan menjalani gaya hidup 'hemat energi'. Tidak seperti orang-orang yang disiplin, berolahraga, dan menjalani jadwal yang padat, rat people hidup dalam suasana yang lambat. Mereka menghabiskan hari-hari mereka di tempat tidur, makan makanan siap saji, menghindari bersosialisasi, dan tidak keluar rumah.




(nwk/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads