Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) era Presiden Abdurrahman Wahid, Kwik Kian Gie meninggal dunia. Kabar ini disampaikan sejumlah tokoh, salah satunya Sandiaga Uno melalui akun media sosialnya.
"Selamat jalan Pak Kwik Kian Gie. Ekonom, pendidik, nasionalis sejati. Mentor yang tak pernah lelah memperjuangkan kebenaran. Yang berdiri tegak di tengah badai, demi kepentingan rakyat dan negeri. Indonesia berduka," ungkap mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu melalui akun media sosialnya, dikutip Selasa (29/7/2025).
Salah satu karakteristik paling mencolok dari mendiang Kwik Kian Gie adalah sikapnya yang konsisten menolak liberalisasi ekonomi yang berlebihan. Ia dengan terbuka mengkritisi dominasi lembaga-lembaga asing seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank dalam menyetir arah kebijakan ekonomi Indonesia, terutama setelah krisis moneter 1998.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari detikFinance, menurut Kwik Kian Gie, Indonesia harus mengelola sumber daya dan kebijakan fiskal tanpa campur tangan asing yang dapat melemahkan kepentingan nasional. Sikap tersebut menjadikan Kwik berbeda dari banyak ekonom lain di era reformasi yang cenderung pro pasar bebas.
Pendidikan Kwik Kian Gie
Cari SD Sendiri Menghadap Kepsek, Keliling Semarang
Kwik Kian Gie merupakan tokoh Indonesia kelahiran Juwana, Pati, Jawa Tengah. Ia lahir pada 1935.
Meski lahir di Juwana, Kwik mengenyam pendidikan SD di Semarang. Situasi sulit yang menyebabkan demikian.
Berbagai peristiwa, termasuk ayah Kwik yang dipenjara, membawa Kwik dan saudara-saudaranya sekolah di Semarang. Ayah Kwik ditangkap dan dipenjara karena anti-Jepang dalam Perang Dunia II. Ayahnya merupakan anggota aktif yang mendukung aliansi melawan Jepang.
Tak lama setelah ayahnya dipenjara pada 1942, Kwik beserta ibu dan saudara-saudaranya pindah ke Semarang.
"Karena keluarga kami cukup besar, dengan ayah yang ada di dalam penjara dan anak-anak yang berjumlah 10 orang, ibu tidak bisa mengurus anak, kecuali mati-matian mencari nafkah," ujar Kwik melalui buku Menelusuri Zaman, Memoar dan Catatan Kritis Kwik Kian Gie.
Di Semarang, sejak kelas dua SD ia dan para saudaranya harus mencari sekolah sendiri. Mereka berjalan kaki dari satu sekolah ke sekolah lain, menghadap guru kepala dan meminta menjadi peserta didiknya.
"Selama pendudukan Jepang, saya berganti sekolah tiga kali, ditambah satu kali pindah ke sekolah Belanda. Di sekolah ini saya hanya bertahan tiga hari karena saya tak menguasai sepatah kata pun dalam bahasa Belanda," ungkapnya.
Kwik memulai SD dengan kurikulum dan bahasa yang sepenuhnya Mandarin. SD terakhirnya adalah Chinese English School di Semarang.
Setelah SD ia sadar harus pindah ke sekolah Indonesia karena tak sedikit pun tertarik pindah ke Tiongkok (China).
"Demikian juga pendirian seluruh keluarga saya. Maka memasuki SMP, saya bersekolah di SMP Masehi, Poncol, Semarang," kata Kwik.
Setelah Jepang menyerah pada 1945, ayah Kwik dibebaskan. Ayahnya berkeliling mencari rumah untuk 10 anak. Saat itu ada banyak rumah peninggalan Belanda yang kosong dan hancur.
Di rumah yang dulu berlokasi di Jalan Karang Tengah Nomor 36, Kwik dan saudara-saudaranya dibesarkan. Setelah lulus SMA mereka meninggalkan Semarang dan melanjutkan pendidikan tinggi di luar Semarang.
Meski memiliki latar belakang sekolah dasar dan menengah yang dapat dikatakan kurang teratur, Kwik beserta semua kakak dan adiknya berhasil merampungkan studi di kampus-kampus yang cukup baik di Eropa dan Amerika Serikat.
"Sekali lagi, saya menuliskan ini karena saya merasa perlu agar sekolah-sekolah lokal tidak dianggap lebih rendah mutunya dibandingkan dengan yang "berbau" internasional. Masalah ini perlu penanganan yang serius dari kita semua, tetapi terutama tentunya dari pemerintah," tulis Kwik.
Dirikan SMA Sendiri dan Sekolah di Sana
Saat masuk kelas tiga SMA, Kwik pindah ke Surabaya. Ia pindah ke ibu kota Jawa Timur dengan alasan untuk menjabat sebagai ketua Pusat Perhimpunan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI) yang punya 13 cabang di seluruh Jawa.
Namun, ia mengaku tak mendapat sekolah yang baik. Pasalnya, sekolah menengah saat itu sangat langka, sehingga hampir semua gedung sekolah menengah dipakai pagi dan siang hari.
Kantor pusat PPSMI di Surabaya mempunyai gedung yang cukup luas dan strategis. Lokasinya ada di Jalan Kaliasin nomor 76.
"Bermodalkan gedung ini saya bisa mendirikan SMA, asal mempunyai cukup modal kerja. Untuk itu saya memperoleh sumbangan dari dua orang kaya di Surabaya yang anaknya anggota perhimpunan siswa sekolah menengah yang saya pimpin," tutur Kwik.
Kemudian berdirilah SMA Erlangga (sekolah pagi) dari upaya Kwik itu. Ia merekrut guru-guru terbaik dan menawarkan gaji dua kali lipat.
"Saya sendiri menjadi murid SMA Erlangga ini. Dalam ujian nasional, tingkat kelulusannya 98%, karena guru-gurunya terbaik semuanya," Kwik mengenang.
Pindah dari FH UI ke FE UI, lalu Rotterdam
Kwik memasuki usia kuliah pada 1955. Ia awalnya kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Ia sangat bersusah payah dalam memahami materi perkuliahan lantaran karena banyak buku yang digunakan berbahasa Belanda. Setelah enam bulan kuliah, ia menyerah dan pindah ke Fakultas Ekonomi UI.
"Saya menceritakan kesemuanya ini sebagai pengalaman bahwa hukum kita sangat amburadul. Bagian besar dari hukum kita masih merupakan warisan hukum Belanda, dan sejak kita merdeka sampai sekarang, belum ada pembentukan hukum Indonesia yang utuh dan konsisten," tegasnya melalui buku ini.
Ketika dibuka ujian persiapan yang saat itu dinamakan propadeuse pada Juli 1956, Kwik lulus masuk Fakultas Ekonomi UI.
Sejak kelas dua SMA ia sebenarnya sudah mempersiapkan diri untuk melanjutkan kuliah di London, di fakultas ilmu politik.
Namun, percakapannya pada 1956 dengan sang kakak yang saat itu sakit, Tik Tjiauw, di Rotterdam, Belanda, membawa Kwik memutuskan belajar di sekolah yang sama dengan kakaknya itu.
Kwik memulai perkuliahan tingkat candidaat atau sarjana muda pada September 1957 di Nederlandsche Economische Hogeschool (NEH) di Rotterdam.
Untuk mendapat ijazah propadeuse, ia harus ujian untuk dua mata kuliah yang tidak ada di kurikulum FE UI. Karena sama sekali tidak menguasai bahasa Belanda, ujian boleh dilakukan dalam bahasa Inggris secara lisan.
"Sekalipun demikian, saya toh kehilangan satu tahun, karena kecuali belajar dua mata kuliah tersebut, yaitu Ekonomi Moneter dan Statistik, saya juga harus belajar bahasa Belanda," ujarnya.
(nah/twu)