Dari Madura hingga ke Jogja, Anak Nelayan Ini Raih Gelar Doktor di Usia 32 Tahun

ADVERTISEMENT

Dari Madura hingga ke Jogja, Anak Nelayan Ini Raih Gelar Doktor di Usia 32 Tahun

fahri zulfikar - detikEdu
Senin, 28 Jul 2025 08:30 WIB
Mawaidi, Dosen UNY asal Madura yang Promosi Doktor di Usia 32 Tahun
Mawaidi, dosen UMY asal Madura yang sidang promosi doktor pada usia 32 tahun. Foto: Mawaidi/UNY
Jakarta -

Jarak Sumenep di Madura ke Yogyakarta terbentang sejauh hampir 500 km. Namun, jarak ini tak membuat gentar Mawaidi untuk menempuh pendidikan hingga ke jenjang tinggi.

Mawaidi, adalah anak kelahiran Madura asli. Sejak ia usia muda, ayahnya berprofesi sebagai nelayan dan ibunya sebagai petani jagung. Kehidupannya di Madura syarat akan pendidikan agama.

Meski banyak yang tidak bersekolah formal dan membaca huruf latin, tapi banyak orang bisa mengaji. Termasuk ibunya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ibuku tidak sekolah formal; meski tidak bisa membaca huruf latin, ibuku bisa mengaji," ucapnya kepada detikEdu, Minggu (27/7/2025).

Bahkan, di kampungnya, Toraja, Desa Romben Barat, Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep, pendidikan agama lebih diutamakan dibanding pendidikan formal

ADVERTISEMENT

"Di kampungku, pendidikan agama lebih utama ketimbang pendidikan umum," imbuhnya.

Maka itu, sejak sekolah dasar, ia menempuh pendidikan di lembaga berbasis agama, seperti madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), dan madrasah aliyah (MA).

Hampir Putus Sekolah

Karena basis pendidikan agama menjadi yang utama, Mawaidi hampir mengalami putus sekolah. Sebelum ke jenjang SMA, orang tuanya ingin agar dia menikah.

Selain itu, guru mengajinya juga meminta orang tuanya untuk mengirimkan Mawaidi muda ke pondok pesantren. Akhirnya, masa SMA ia habiskan di pondok pesantren.

"Di jenjang MA itulah aku sekalian mondok di Annuqayah, di desa Guluk-Guluk, sebuah desa yang bisa ditempuh orang tuaku selama satu jam lebih setiap bulan ketika mereka mengunjungiku pada hari Jumat," ceritanya.

Usai SMA, ia kembali dihadapkan pada permintaan orang tuanya untuk segera menikah. Di kampungnya, menikah muda bagi laki-laki bukanlah hal yang awam.

Namun, lagi-lagi Mawaidi enggan untuk menikah saat itu. Di pikirannya, ia ingin melanjutkan ke jenjang kuliah.

"Tapi, aku tetap tidak mau, di samping karena aku saat itu memiliki alasan yang kuat untuk kuliah," katanya.

Kuliah Tidak Ada Biaya, Pilih Cari Beasiswa

Keinginannya untuk kuliah tak lepas dari masa-masa ia di pondok pesantren. Pondok itu bernama Annuqayah, yang berada di daerah Lubangsa.

Annuqayah merupakan pesantren tertua di Sumenep, yang berdiri pada 1887. Pesantren tersebut dikenal inklusi terhadap semua bidang keilmuan; dari kitab kuning (bahasa Arab, fikih, tasawuf), bahasa Inggris, sains, jurnalistik, bahkan hingga sastra seperti teater, puisi, dan cerpen.

"Ketika pertama kali aku mondok, aku daftar dan masuk Badan Pengembangan Bahasa Asing (BPBA) konsentrasi bahasa Arab dengan tujuan agar aku punya bidang penguasaan bahasa asing yang relevan dengan kebutuhan pendidikan agama pada saat itu," ungkap Mawaidi.

"Tapi, menjelang tahun kedua, aku merasa kurang motivasi dan memilih bergabung komunitas sastra di luar lembaga resmi milik pondok," ucapnya.

Berawal dari komunitas sastra itu, ia terus mengeksplorasi dirinya. Ia mengenal dunia perpustakaan, jurnalistik, bahkan organisasi santri di pesantren.

Mawaidi juga mulai terlibat dalam produk-produk media, yang mencakup rubrik sastra: puisi dan cerpen. Kehadiran media-media dari luar Annuqayah pun disambut baik oleh pesantren.

"Kami para santri dengan mudah mengakses majalah pesantren Sidogiri, majalah sastra Horison, majalah Alfikr Nurul Jadid Paiton, Tempo, Gatra, Hidayatullah, Annida, Koran Radar Madura, Jawa Pos, Memorandum, tabloid, dan masih banyak lagi karena begitu beragam. Jangankan majalah, komik pun bisa dijumpai di perpustakaan-perpustakaan," paparnya.

Selama mondok, Mawaidi juga aktif mengikuti lomba-lomba tingkat lokal seperti class meeting dan tingkat nasional seperti yang diselenggarakan Malang Post dan Yayasan Rayakultura asuhan Naning Pranoto.

"Hadiah pertamaku dari lomba menulis cerpen adalah novel Rumah Cinta (2006) karya Mustofa W. Hasyim," lanjutnya.

Pada akhirnya, pengalaman dan keterlibatannya di banyak kegiatan pesantren membuat dirinya ingin melanjutkan kuliah. Namun, ia tidak memiliki dukungan dari orang tua karena masalah biaya.

Hingga akhirnya, informasi dari sekolah mengumumkan penjaringan beasiswa Bidik Misi jalur undangan. Beasiswa itu teruntuk bagi siswa yang memiliki prestasi secara akademik dan nonakademik.

Mawaidi pun ikut berpartisipasi dengan melampirkan sertifikat juara cerpen tingkat lokal dan nasional seperti juara Harapan Malang Post dan Karya Favorit Lomba Cerpen Remaja dari Yayasan Rayakultura.

"Saat pengumuman tiba, dari empat kelas angkatanku, dua orang yang diterima: salah satunya aku," ujarnya.

Kuliah Sastra di Yogyakarta-Membangun Bisnisnya Sendiri

Mawaidi mengaku tak pernah membayangkan akan kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kala itu. Pada saat daftar beasiswa Bidik Misi ia hanya terpikirkan UIN Sunan Kalijaga dan UGM. Sebab di dua kampus itulah rata-rata alumni pondoknya banyak melanjutkan studi.

Ia tidak memilih UIN, karena tidak ada prodi Sastra Indonesia. Dia juga tidak memilih UGM, karena merasa minder.

Akhirnya Mawaidi mencari tahu kampus apa saja di Jogja yang memiliki jurusan Sastra Indonesia. Ketemulah UNY dan ia menemukan dilema antara memilih Sastra Indonesia atau pendidikan sastranya.

"Karena aku tidak punya orientasi jadi guru, maka Sastra Indonesialah yang akhirnya kupilih dan pilihan kedua pada saat itu adalah Prodi Ilmu Sejarah," ungkapnya.

Merantau sejauh ratusan kilometer ke Jogja bukan hal mudah baginya. Mawaidi sempat menumpang tinggal hingga menulis cerpen untuk dikirim ke media-media agar dapat honor.

Perjalanannya menulis kemudian mengantarkannya kepada banyak kenalan di jurusan sastra. Ia akhirnya tinggal di sebuah asrama Garawiksa milik Edi Mulyono, CEO Diva Press.

"Di asrama ini aku mulai menulis dengan rajin tanpa perlu memikirkan isi perutku. Pengasuh asrama sudah menyiapkan tempat gratis dan suplai beras untuk kebutuhan teman-teman penghuni asrama. Pada saat tinggal di asrama ini pula aku belajar menulis buku bacaan populer," tuturnya.

Tak lama tinggal di sana, ia pun memutuskan pindah untuk indekos. Meskipun itu pilihan yang sulit, ia tetap harus mengatur uang bulanan dari beasiswa Rp 600 ribu, untuk hidup dan kuliahnya.

Ia pun mulai mencari kerja. Selain menulis, ia menjadi layouter freelance di sebuah penerbit. Sampai akhirnya lulus S1, ia meneruskan bekerja di percetakan dan mengelola sebuah distributor buku.

Dengan pengalamannya, ia pun akhirnya memiliki sebuah penerbit sendiri. Sebuah usaha yang ia dirikan dengan semangat dan pengalamannya.

Setelah 3 tahun, ia pun melanjutkan S2. Dia mengambil S2 jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia di UNY. Pilihannya diambil dengan mempertimbangkan jejaring penerbitannya yang membutuhkan multidisiplin.

"Di kuliah magister ini entah mengapa aku menikmati dunia riset. Sebelum lulus, aku sudah punya publikasi artikel terindeks Sinta 2 sejumlah dua buah artikel di jurnal yang berbeda-beda dan gratis. Aku juga punya artikel terindeks Sinta 4 di sebuah jurnal dan memberikan honor kepada penulisnya sejumlah 1 juta. Pada saat itu, aku rajin menulis artikel baik secara mandiri, kolaborasi, maupun membantu teman-teman," kata Mawaidi.

Usai lulus S2, dua dosennya meminta untuk mendaftar S3. Mawaidi mengaku tidak memiliki biaya. Namun, dari dua dosen itu ia akhirnya mendapatkan beasiswa secara pribadi.

"Karena mereka sudah memulai pendidikanku untuk mencari ilmu, sebagai santri aku hanya bisa sami'na wa atha'na. Untuk selanjutnya, aku berkomitmen untuk bertanggung jawab terhadap pilihanku sendiri dengan membiayai pendidikanku. Guru-guruku telah memberikan jalan kepadaku dan aku wajib menjalankan amanah tersebut," ujarnya.

Pada akhirnya, ia komitmennya berhasil dilakukan. Pada Rabu, 23 Juli 2025, ia berhasil melewati ujian promosi doktor dengan judul disertasi "Ekopuitika dalam Puisi-Puisi D. Zawawi Imron".

Kini di usianya yang masih 32 tahun ia telah membuktikan, berasal dari tanah yang jauh sekali pun, mimpi bisa diraihnya. Sebagai anak daerah, Mawaidi mengatakan pentingnya menunjukkan sikap etik dan membaur dengan masyarakat.

"Aku sering kali melihat mahasiswa-mahasiswa dari daerah ke tempat perantauan sering membawa ego kultural masing-masing. Walaupun tidak semuanya demikian, sikap etik agar dapat diterima dan membaur dengan masyarakat perantauan sangat urgen. Sudah saatnya sikap emik itu ditangguhkan agar mahasiswa dari daerah tidak jadi minyak di tengah samudra," katanya.

Kepada mahasiswa-mahasiswa, Mawaidi berpesan untuk tetap fokus kepada rencana studi awal sebagaimana yang dicita-citakan. Ia mengatakan, jangan sampai mahasiswa daerah gugur dalam kuliah karena terlalu terlena terhadap pergaulan di tanah rantau.

"Memang, untuk menjadi kaya tidak perlu mengenyam kuliah. Tapi, memiliki mindset menjadi bangsa yang besar perlu didapatkan dengan cara mengenyam pendidikan kuliah," pungkasnya.




(faz/nah)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads