Cognitive Debt: Utang Kognitif, Akibat Otak yang Jarang Dipakai

ADVERTISEMENT

Kolom Edukasi

Cognitive Debt: Utang Kognitif, Akibat Otak yang Jarang Dipakai

Dr Firman Kurniawan S - detikEdu
Rabu, 23 Jul 2025 20:00 WIB
Rontgen Otak
Foto: Hashem Al-Ghaili via Techfixated
Jakarta -

Mana yang lebih menunjukkan kapasitas yang lebih baik? Otak yang tampilannya mulus atau yang justru berkerut-kerut, sepert kertas baru diremas? Juga mana yang kekuatannya lebih unggul? Otak yang sering dipakai, atau otak yang jarang digunakan?

Untuk pertanyaan pertama, The New York Stem Cell Foudation, 2018, lewat tulisan berjudul 'What Causes Brain Wrinkles?', menjelaskan: otak yang banyak kerutan adalah otak yang berupaya mencapai efisiensi. Seiring evolusi manusia, korteks berkembang. Makin besar volumenya, makin banyak materi yang dapat ditampung. Maka, untuk memaksimalkan volume yang dapat masuk ke tengkorak, otak menciptakan lipatan.

Lipatan adalah kerutan yang besar. Volume yang lebih besar, dimasukkan ke ruang yang ukurannya tersedia dengan membuat lipatan lebih banyak. Ini serupa memasukkan barang ke koper, melipat lebih banyak dapat memuatkan barang lebih banyak. Selain itu, lipatan juga punya manfaat lain. Kecepatan respon otak dipengaruhi kecepatan pengiriman sinyal. Seluruhnya mengindikasikan kapasitas akal yang tinggi. Otak membuat lipatan yang rumit, sebagai strategi memperpendek jarak yang dilalui serat-serat yang menghubungkan wilayah otak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Realitas otak dengan banyak kerutan sebagai otak berkapasitas tinggi, kerap jadi anekdot populer. Akibat bentuknya yang tak menarik, harganya murah kalau dijual. Dikisahkan adanya ajang lelang, tiga gumpalan otak dari tiga negara. Otak pertama kerutannya banyak dengan ukuran sedang. Otak itu berasal dari negara yang penduduknya sangat kreatif, produk berteknologi yang melampui zamannya: robot perawat lansia, walkman, sapu otomatis, hingga kendaraan cerdas, adalah inovasi negara ini. Tapi akibat tampilannya, otak ini cepat terjual dengan harga termurah.

Sedangkan otak kedua, berukuran lebih besar. Juga banyak kerutan, walaupun tak sebanyak otak sebelumnya. Konon otak ini berasal dari negara yang dikenal sangat lihai berdagang. Produk-produk murah dengan 'otak dagangnya', jadi berharga di negara lain. Namun akibat negaranya sangat terlibat urusan kesejahteraan dan keamanan rakyatnya, menjadikannya manja, agak malas berpikir. Otaknya tak terlalu banyak kerutan. Namun justru jadi daya tarik peserta lelang. Otak dari negara ini terjual lebih mahal.

ADVERTISEMENT

Dan yang ketiga, otak dengan ukuran paling besar. Kerutannya sangat sedikit, hampir mulus. Ini oleh pengajar anatomi, disebut otak manusia baru lahir. Setidaknya jarang dipakai. Berdasar informasi petugas lelang, otak ini memang dari negara yang rakyatnya malas berpikir, bekerja dan berjalan kaki. Sangat senang saat ditemukan teknologi yang menyelesaikan persoalan secara instan. Tak berpikir, tak bekerja, hanya berkata-kata adalah sumber kebahagiaan rakyat negara ini. Otak yang bentuknya utuh ini, banyak peminatnya. Harga lelangnya tinggi. Mungkin oleh pemenangnya hendak digunakan sebagai contoh, otak yang sesuai gambar buku-buku anatomi. Otak yang sulit ditemukan di negara-negara yang penduduknya senang belajar dan berpikir.

Terlepas dari anekdotdi atas, otak yang jarang dipakai memang beda bentuk anatomisnya. Juga fungsi fisiologisnya. Ini jawaban pertanyaan kedua. Otak yang sering dipakai, punya kekuatan yang baik. Sedangkan otak yang jarang dipakai, atau pemakaiannya untuk hal yang tak menantang mengalami penurunan fungsi. Muncul berbagai istilah, termasuk yang terbaru: cognitive debt.

Ini mengacu pada penurunan fungsi kognitif otak. Jake Miller, 2025, dalam "Cognitive Debt: What I Learned from MIT's Paper on AI and Brain Atrophy", menguraikannya secara sederhana. Berupa kondisi berkurangnya kemampuan mengingat, berpikir kritis, atau membangun pengetahuan yang berkelanjutan. Otak menjadi serupa air, mengikuti aliran yang paling mudah dilalui. Ketika makin lama dialami, terjadi akumulasi cognitive debt, memperlambat kerja otak seraya menghilangkan ketajamannya.

Otak yang dipakai, laksana otot saat berolahraga. Dalam olahraga itu, manusia mengingkari dirinya sendiri. Diri yang lebih senang diam, tak melakukan apapun. Olahraga membuat manusia berkeputusan untuk menempuh ketidaknyamanan. Ini menyebabkan otak aktif mengatasinya, menciptakan banyak kerutan. Otak yang berlipat-lipat, tak mulus, tak lunak, tak mengalami kenyamanan, justru dalam kondisi menghadapi tantangan.

Seluruh uraian itu, relevan dengan penelitian yang dilakukan Nataliya Kosmyna, Eugene Hauptmann, Ye Tong Yuan, Jessica Situ, Xian-Hao Liao, Ashly Vivian Beresnitzky, Iris Braunstein, Pattie Maes, 2025, berjudul 'Your Brain on ChatGPT: Accumulation of Cognitive Debt when Using an AI Assistant for Essay Writing Task'. Penelitian yang dilakukan dengan metode eksperimen ini, mengeksplorasi akibat neural maupun perilaku, yang diamati dari penulisan esai dengan bantuan large language model (LLM) ChatGPT. Responden penelitiannya dibagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok yang dibantu LLM, kelompok yang dibantu Search Engine, dan kelompok Brain-only alias tanpa alat bantu apa pun.

Pada kelompok eksperimen yang kondisinya sama, awalnya diminta menyelesaikan tiga sesi tugas. Setelah selesai, dilakukan sesi keempat dengan kelompok pengguna LLM yang dipindahkan menjadi kelompok Brain-only (LLM-ke-Brain), dan kelompok Brain-only dipindahkan menjadi kelompok LLM (Brain-ke-LLM). Pelaksanaan eksperimen dilengkapi dengan penggunaan elektroensefalografi (EEG). Ini untuk menilai beban kognitif selama penulisan esai, yang analisisnya menggunakan NLP dan wawancara responden di setiap akhir sessi. Sedangkan penilaian dilakukan dengan bantuan guru manusia maupun juri artificial intelligence (AI).

Berdasar analisis EEG, terdapat indikasi yang kuat: kelompok LLM, Search Engine, dan Brain-only punya pola konektivitas saraf yang berbeda signifikan. Itu jadi petunjuk, adanya strategi kognitif yang berbeda di setiap keadaan. Konektivitas otak secara sistematis menurun, seiring dengan jumlah dukungan eksternal. Makin intensif penggunaan perangkat pembantu, makin menurunkan konektivitas otak. Kelompok Brain-only punya jaringan terkuat dan terluas, pada kelompok search engine keterlibatannya sedang. Dan pada pengguna LLM, konektivitas yang ditunjukkannya terlemah.

Hasil yang konsisten, ditunjukkan saat dilakukan sesi keempat. Pada sesi ini kelompok LLM-ke-Brain menunjukkan konektivitas saraf yang lebih lemah, dengan keterlibatan jaringan alfa maupun beta yang kurang. Sedangkan kelompok Brain-ke-LLM menunjukkan daya ingat yang lebih tinggi, dan keterlibatan kembali nodus oksipito-parietal dan prefrontal yang tersebar luas. Apropriasi -rasa kepemilikan- esai oleh kelompok LLM, rendah. Ini merupakan fakta, dari hasil wawancara. Sedangkan pada kelompok Search Engine kepemilikannya kuat, tetapi masih lebih rendah dibanding dengan kelompok Brain-only. Kelompok LLM juga tertinggal, saat mengutip esai yang beberapa menit sebelumnya ditulis sendiri. Nyata dari hasil eksperimen itu, peserta kelompok LLM kinerjanya lebih buruk dibanding responden dari kelompok Brain-only, di semua tingkat: neural, linguistik, maupun penilaian.

Para peneliti memberikan beberapa catatan di akhir laporannya. Yang menyebut: eksperimen di atas, dilakukan dengan LLM yang digunakan ChatGPT. Dalam periode hingga diterbitkannya laporan penelitian, ada kemungkinan pembaruan penting dari pengembang LLM itu. Pembaruan yang dapat memberi hasil penelitian yang berbeda. Karenanya, para peneliti tak hendak serta merta menggeneralisasi hasil penelitiannya, diproyeksikan ke LLM lainnya. Namun demikian, ketaktergeneralisasikannya hasil penelitian tak berarti menghilangkan ancaman cognitive debt yang mengintai penggunaan perangkat AI. Ini lantaran penggunaannya yang berkepanjangan, nyata memarkir digunakannya kemampuan kognitif. Akumulasi utang kognitif, tak terhindarkan.

Jika sebelumnya: Nicholas Carr, 2010, lewat bukunya 'The Shallows', yang kekhawatirannya turut dipertegas Johann Hari, 2022, lewat 'Stolen Focus: Why You Can't Pay Attention--and How to Think Deeply Again'. Keduanya telah mengingatkan, besarnya daya rusak perangkat teknologi informasi terhadap bertahannya perhatian manusia. Perhatian yang mudah tercuri ini, menurunkan kemampuan kognitif manusia.

Tak hanya di situ, muncul fenomena 'brain rot'. Yang walaupun belum mendapat kesepakatan para ahli medis sebagai gangguan kesehatan yang diterima, kekerapan indikasinya menyebabkan fenomena ini ditetapkan sebagai "Word of the Year 2024" oleh Oxford University Press.

Dan di saat sebelumnya, David Levy, 2011, guru besar di Universitas Washington mengemukakan 'popcorn brain'. Suatu keadaan otak yang intensif menerima rangsangan teknologi digital yang cepat dan konstan. Ini menyebabkan sulitnya mengerahkan perhatian pada tugas yang memerlukan keterlibatan yang dalam. Perhatian yang berlompat-lompatan seperti jagung letup di dalam microwave, dari satu tema ke tema lain secara cepat.

Nyata, kehadiran AI menambah ancaman disfungsi otak. Sekaligus jadi paradoks: manusia dengan akal tertingginya menciptakan akal imitasi. Namun dengan ciptaan itu, akal berikut relevansinya justru terancam. Dan apakah ini seluruhnya berarti: AI dikembangkan agar otak manusia tampak utuh tanpa kerutan. Walaupun itu adalah otak yang tak berfungsi? Tentu tidak bukan?


*) Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org




(nwk/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads