Waktu menunjukkan pukul 14.55 WIB di kediaman mendiang penulis Ratna Indraswari Ibrahim pada Senin itu (16/6/2025). Hawa Kota Malang makin mendingin, terlebih lepas guyuran hujan yang tak merata.
Di kediaman itu kini berdiri Rumah Budaya Ratna (RBR) di satu sisi. Sedang di sisi lain, sebuah bangunan lawas dengan tulisan 'Anno 1914' di puncaknya, seumuran dengan lahirnya Kota Malang.
Di rumah satu lantai bernuansa pencahayaan kuning itu sekarang siapa pun dapat membaca berbagai karya literasi, berkumpul sambil berdiskusi, bahkan mengerjakan kewajiban studi. Kerap juga, RBR menjadi tempat kegiatan sastra dan budaya, pembacaan puisi, hingga monolog Munir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Yogyakarta, mungkin mudah menemukan wadah literasi serupa untuk membaca sambil 'ngafe' dan berkegiatan literasi-budaya. Namun di Malang, rumah ini dapat dikatakan salah satu pengecualian.
Salah satu hal paling menarik adalah kamar Ratna Ibrahim yang didedikasikan untuk pengunjung. Tata letak perabotan di eks kamar itu tidak diubah, persis seperti saat mendiang masih hidup.
Nonprofit dan Ramah Kantong Pelajar
Benny Ibrahim, bungsu dari persaudaraan Ibrahim yang ditemui detikEdu menuturkan RBR ini nonprofit. Meski pengunjung dapat memesan makanan dan minuman, uang-uang itu diputar kembali untuk operasional RBR.
Makanan yang disajikan tergolong murah. Kue tradisional dijual dengan rentang Rp 3.000-an saja. Harga minuman pun terjangkau, sekitar belasan ribu.
Ben, sapaannya, mengungkap semua yang ada di RBR adalah donasi material dan gagasan dari orang-orang terdekat Ratna Ibrahim maupun dirinya.
Pengunjung RBR sangat bervariasi. Ben menuturkan, anak-anak SD yang mengunjungi RBR pun ada. Bahkan, ada yang secara rutin berkunjung sembari menunggu dijemput orang tuanya.
Dari yang diamati oleh detikEdu dan berdasarkan penegasan Ben, meski bervariasi pengunjung di sana umumnya kisaran usia Gen-Z.
"Rumah Budaya Ratna for Gen-Z," ungkap Ben soal kredo RBR.
Ia menyebut RBR dibangun dari saling dukung antara para sahabat Ratna Ibrahim dan keluarga.
"Ya (yang mengelola) ada saya, istri saya, sahabat-sahabat (Ratna Ibrahim). Satu misi yang sama, tujuan yang sama, sinkron kan," jelas Ben.
Ia mengatakan, RBR tak hanya bermaksud melestarikan karya-karya Ratna Ibrahim, melainkan juga menggaungkan literasi kepada anak muda.
"Yang bikin konsepnya ini teman-teman saya yang di Jakarta. Barang-barangnya banyak yang sumbangan," ungkapnya.
Ben menyampaikan pihaknya tidak pernah mengiklan. Selama ini, orang-orang tahu adanya RBR melalui dengan inisiatif sukarela pengguna media sosial TikTok atau Instagram. Ia juga sering menyaksikan pengunjung mengambil konten di RBR.
"Kita enggak kaya," tegas Ben.
Sebagian buku baru yang ada di RBR juga dijual. Setiap bulannya, buku-buku yang dijual tersebut berganti.
"Dan kebanyakan sekarang para penerbit launching penulisnya di sini," ungkap Ben.
Upaya Melahirkan Penulis-penulis Baru
Dalam kesempatan yang sama, salah sahabat Ratna Ibrahim, Abdul Malik mengungkap RBR didirikan untuk meneruskan kembali amal jariyah Ratna Ibrahim. Saat ini, yang tengah mereka matangkan adalah melahirkan penulis-penulis baru.
"Ini yang kami terus sedang godok adalah penulis, biar ada Ratna Indraswari Ibrahim yang muda," jelas Malik.
"Kita cari memang yang ahli (untuk mengisi materi kepenulisan)," imbuhnya.
Malik menyebut sebagian buku-buku yang ada di sana juga merupakan koleksi Ratna Ibrahim sendiri.
Ia menerangkan RBR sebenarnya sudah pernah berdiri sebelumnya pada 2011. Kendati begitu, tempat ini sempat vakum dan kembali diresmikan pada 24 Agustus 2024.
Ratna Ibrahim sendiri wafat pada 28 Maret 2011. Sastrawan kelahiran Malang, 24 April 1949 itu sedikitnya telah menghasilkan 300 cerpen yang sudah dimuat di media lokal hingga internasional.
Semasa hidup, Ratna juga telah menulis belasan novel dan beberapa artikel. Ia menorehkan berbagai prestasi yang beberapa di antaranya adalah predikat "Wanita Berprestasi" dari Pemerintah Indonesia pada 1984 dan penghargaan di bidang penggerak sastra dan budaya dari Gubernur Jawa Timur pada 2002.
(nah/nah)