Menunda adalah bentuk kemalasan? No! Ada saatnya menunda berguna. Bahkan bisa menghasilkan karya monumental atau masterpiece.
Lukisan Mona Lisa yang terkenal seantero jagat itu, dikerjakan Leonardo da Vinci selama dua windu atau 16 tahun. Bukan berarti da Vinci terus melukisnya tiap hari sejak 1503. Tapi karena sang maestro menunda pekerjaan, lalu 'iseng' membuat eksperimen optik.
Mengapa da Vinci tak segera menyelesaikan Mona Lisa? Bukankah dia ahli, tentu mudah baginya melukis raut wajah seseorang. Apakah dia kehabisan cat, tapi mengapa harus 16 tahun?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Mengapa Mona Lisa Begitu Terkenal? |
Nobody knows. Da Vinci meninggal dunia di usia 67 tahun usai menuntaskan Mona Lisa pada 1519. Pelukis yang juga ilmuwan asal Italia itu terkena stroke.
Dalam artikel 'How to Procrastinate Like Leonardo da Vinci' dan dikutip Adam Grant di buku Originals, "Tabrak Aturan", Jadilah Pemenang (Noura: 2017), berlarut-larutnya da Vinci melukis Mona Lisa ditafsirkan Profesor Emeritus Universitas Harvard, William Pannapacker, sebagai berikut:
"Karyanya di bidang optik mungkin telah menunda satu proyek (Mona Lisa), tetapi prestasi akhir melukis tergantung pada eksperimen tersebut..."
Menunda pekerjaan bagi da Vinci, menurut Pannapacker, merupakan energi menghasilkan karya paripurna dan bernyawa. Da Vinci memakai teknik sfumato yang menciptakan transisi halus di bibir dan mata Mona Lisa. Juga background sedikit kabur-dalam bahasa kekinian seperti efek blur.
Senyum Mona Lisa dalam lukisan terkesan misterius. Itu hasil dari penggunaan ilusi optik Da Vinci. Eksperimen saat menunda pekerjaan selama 16 tahun, terlihat dampak baiknya di sini.
Adam Grant mengistilahkan da Vinci melakukan penundaan strategis. Selama jeda sambil melakukan eksperimen optik dan lain sebagainya, da Vinci mengendapkan ide dari waktu ke waktu. Hingga dua windu, lalu mengeksekusinya-menjadi Mona Lisa yang tak ternilai harganya, disebut-sebut mencapai Rp 13 triliun saat ini.
Lima abad setelah kisah da Vinci dan Mona Lisa, seorang mahasiswa doktoral, Jihae Shin, bicara pada Adam Grant, bahwa penundaan mungkin kondusif bagi orisinalitas. Dengan menunda, menurut dia, orang punya waktu berpikir divergen (mengalir dan menyebar), tak fokus pada satu ide.
Grant meminta Shin menguji hipotesis itu. Para mahasiswa manajemen jadi 'kelinci percobaan' diam-diam. Mereka diminta mengajukan proposal bisnis untuk mengisi tempat kosong bekas toserba. Penilai independen dilibatkan, tanpa tahu siapa mahasiswa yang langsung mengajukan proposal siapa yang menunda.
Hasilnya, proposal dari mahasiswa yang menunda lebih kreatif 28 persen dibanding lainnya. Sementara mahasiswa yang langsung menjawab kuisioner, hampir semuanya mengajukan proposal dengan ide konvensional: mengisi tempat kosong bekas toserba dengan toserba lagi.
Menunda adalah wait and see menurut istilah saat ini. Tepatnya, wait and see, lalu eksekusi. Menunda berarti menunggu waktu-mencari momentum yang tepat.
Anda berniat mengimplementasikan prinsip menunda? Please, jangan analogikan pekerjaan Anda dengan dua kisah di atas. Sebab, prinsip itu tak berlaku bagi pekerja dengan tenggat pendek. Bisa-bisa Anda dipecat! Juga tak berlaku bagi mereka yang malas dan tak punya hasrat atau upaya mencapai hasil optimal.
Tak usah mencari pembenaran. Kita bukan Leonardo da Vinci. Sukses kita bukan ditentukan menunda atau mengerjakan, melainkan mengatasi rasa malas. Seperti pepatah, jangan tunda bseok apa yang bisa dikerjakan hari ini.
*) Triono Wahyu Sudibyo, pegiat detikcom BookClub.
(trw/nwk)