Makoto disebut ITB sebagai sosok yang istimewa. Bagaimana tidak, dengan rambut dan janggut yang mulai memutih, Makoto tampak menonjol dari 1.887 wisudawan di Wisuda Kedua ITB 2024/2025, April 2025 lalu.
Rambut dan janggut putihnya bak jadi saksi bisu perjalanannya dalam karier ataupun pendidikannya. Diketahui, ia adalah seorang venture capitalist atau investor yang memberikan modal kepada perusahaan rintisan /startup.
Kariernya telah melanglang buana dari Jepang, Silicon Valley Amerika Serikat dan kini Indonesia. Posisi yang pernah diembannya juga tak main-main, dari Manager Unit Pengembangan Bisnis di Sharps Electronics Corporation, Manajer umum Departemen Perencanaan Bisnis di Mitsubishi Motors, dan pengalaman di perusahaan kelas dunia lainnya.
Dengan karier yang mentereng, Makoto mengaku pernah menganggap ilmu pendidikan tak lagi berguna baginya. Tetapi anggapan itu salah, hingga akhirnya ia memilih untuk melanjutkan kembali pendidikan jenjang magister di SBM ITB.
"Saya dulu menganggap ilmu kampus tak berguna, tapi ternyata sangat penting di dunia nyata," ujarnya dikutip dari rilis di laman resmi ITB, Rabu (21/5/2025).
Jalani Kuliah di 3 Negara
Tidak hanya karier, Makoto juga telah merasakan berkuliah di tiga negara. Ia mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Waseda University, Jepang pada 1995.
Kemudian, ia melanjutkan kembali studinya di Duke University School of Law, Amerika Serikat pada 2009. Setelah vakum dan fokus karier, ia mengambil MBA ITB pada 2023.
Pernah merasakan pendidikan di tiga negara berbeda tentu membuat Makoto punya pandangan unik. Terutama tentang perbedaan sistem pendidikan tinggi di Jepang, Amerika, dan Indonesia.
Menurutnya sistem pendidikan tinggi di Jepang, dosen pengampu mata kuliah biasanya terdiri dari gabungan akademisi dan praktisi. Tetapi di Amerika dan Indonesia hanya fokus salah satunya.
"Di Amerika, banyak yang murni praktisi. Sementara di Indonesia, dosen lebih banyak dari latar belakang akademik," paparnya.
Meski begitu, Makoto mengaku mendapat pengalaman yang sangat baik kala menempuh S2 di ITB. Ia menjelaskan lingkungan belajar di ITB sangat suportif.
Hal itu terlihat selama pembelajaran. Sebagai WNA, bahasa tentu menjadi salah satu kendala yang dihadapi Makoto.
Memang, pengantar utama kuliah adalah bahasa Inggris. Tetapi, mahasiswa tidak jarang menggunakan bahasa Indonesia saat berdiskusi. Dengan bantuan dari teman sekelasnya, Makoto mengaku tetap bisa mengikuti kelas dengan baik.
Oleh karena itu, Makoto juga memuji budaya orang Indonesia yang sangat ramah, suka menolong, dan suka mengapresiasi orang lain. Di ITB, ia juga belajar mata kuliah Etika yang kemudian jadi salah satu favoritnya.
"Dengan etika, manusia bisa mematuhi peraturan yang ada, sehingga menjadi lebih bijak," jelas Makoto.
Dua tahun menjadi mahasiswa S2 SBM ITB, Makoto dibimbing oleh dosen Andika Putra Pratama. Ketika menjalani perkuliahan, ia kerap menjadi mahasiswa tertua di kelasnya.
Bahkan diketahui, ia juga seusia dengan beberapa dosennya. Walaupun begitu, usia bukan menjadi masalah bagi Makoto Uda. Karena ia bisa mendapat pandangan baru mengenai dunia industri dari generasi muda atau sebaliknya.
Dengan tesis yang menyoroti tentang peluang ekspatriat (seseorang yang tinggal dan/atau bekerja di negara yang bukan negara asalnya) dalam mengatasi kesenjangan komunikasi serta adaptasi budaya di perusahaan afiliasi Jepang, Makoto Uda kini resmi lulus dari SBM ITB.
Ingin Jadi Jembatan Budaya Jepang-Indonesia
Seusai lulus, Makoto akan kembali ke dunia industri. Tetapi dengan pengalamannya di ITB, ia mengaku ke depan ia ingin menjadi jembatan budaya antara Jepang dan Indonesia.
"Saya ingin menjadi jembatan bagi eksekutif Jepang yang butuh pemahaman lebih mengenai budaya lokal," ungkapnya.
Karena selama kuliah, ia mendapat pemahaman yang lebih mendalam tentang bahasa dan budaya Indonesia. Sehingga ia sangat tertarik dalam memperkaya wawasan tentang budaya lokal Indonesia.
"Di kampus ini, saya justru benar-benar mengenal karakter asli orang Indonesia yang jauh lebih beragam dan menarik," tuturnya.
Makoto juga berpesan agar mahasiswa WNA atau mereka yang ingin tinggal/bekerja di negara lain untuk selalu menghormati budaya lokal setempat. Hal ini menurutnya penting, untuk membangun hubungan dengan masyarakat sekitar.
"Dari budaya yang beragam ini, kita bisa belajar dan mendapatkan insight yang penting bagi kehidupan," tandasnya.
(det/nwk)