Pada zaman Hindia Belanda, terdapat Meester Cornelis yang merupakan kota satelit Batavia, yang sekarang dinamakan Jatinegara. Di Jatinegara inilah Wage Rudolf Supratman atau yang biasa dikenal WR Supratman dilahirkan pada Senin Wage, 9 Maret 1903 pukul 11.00 siang.
Darah seni WR Supratman didapat dari kakeknya, Mas Ngabehi Notosoedirjo, priyayi kaya yang dikenal dalam kesenian musik dan seni suara Jawa. WR Supratman adalah anak ketujuh dari Djoemeno Senen Sastrosoehardjo alias Abdoelmoein dan Siti Senen.
Kelak saat dewasa, WR Supratman disebut memiliki perawakan yang tinggi, berkulit kuning langsat, dan berparas tampan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biografi Singkat WR Supratman
Pendidikan di Makassar
Setelah berusia 6 tahun, WR Supratman bersekolah di Budi Utomo di Cimahi. Sayang, belum sampai tamat, ibunya meninggal dunia.
Setelah ayahnya pensiun dari Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda, dia dijemput kakak tertuanya, Ny Reoekijem Soepratijah van Eldik untuk disekolahkan di Makassar.
Dengan usaha kakaknya itu dan WM van Eldik, WR Supratman masuk sekolah Belanda, Europese Lagere School setelah menambah "Rudolf" dalam namanya sebagai siasat agar diterima sekolah.
Sayang, terungkap dia bukan anak kandung van Eldik. Sehingga, dia akhirnya masuk ke sekolah Melayu.
Diketahui, semasa sekolah, setelah pulang, WR Supratman selalu belajar gitar dan biola. Kakak iparnya, van Eldik menjadi guru seni gitar dan biola.
Keingingan Kembali ke Jawa
Di Makassar, WR Supratman sempat bekerja sebagai klerek di Firma Nedem. Namun, dia pindah lagi sebagai klerek di kantor pengacara milik Mr Schulten, teman baik van Eldik. Di kantor itu, dia kemudian bisa membaca berita-berita mengenai peristiwa di Hindia Belanda.
Kehidupan WR Supratman sempat penuh musik, dansa, dan foya-foya. Kendati akhirnya dia bosan juga dan mengalihkan perhatian pada masalah politik. Orang yang mula-mula mendorongnya untuk melirik masalah politik dan menumbuhkan nasionalisme adalah HJFM Sneevliet.
Di kantor pengacara ini, WR Supratman membaca satu karangan politik yang mengutip majalah Hindia Putra. Tulisan ini amat berkesan di hatinya.
Beberapa koran yang terbit di Batavia juga memberitakan para mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda mengubah nama organisasi Indonesische Vereeniging menjadi Perhimpunan Indonesia dan mengganti nama majalah Hindia Putra menjadi Indonesia Merdeka. Mereka pun menyatakan tujuan perjuangannya adalah memerdekakan Indonesia.
Dikutip dari buku Wage Rudolf Soepratman oleh Anthony C Hutabarat, pernyataan yang dimuat dalam majalah Indonesia Merdeka, Maret 1924 itu semakin mendorong WR Supratman untuk segera kembali ke Jawa.
WR Supratman sepuluh tahun tinggal di Makassar. Pernah menjadi guru, klerek, dan pemain musik, akhirnya dia kembali ke Jawa pada 1924 dengan kapal laut menuju Surabaya.
Di sana, WR Supratman kecewa dengan suasana pertentangan antargolongan. Sehingga memutuskan meninggalkan Surabaya untuk menetap di Bandung atau Batavia. Tak lama, dia berangkat ke Cimahi, Bandung ke tempat tinggal ayahnya.
Awalnya kehidupan WR Supratman terombang-ambing hingga akhirnya memutuskan menjadi wartawan. Walaupun begitu, dia tak lama tinggal di Cimahi dan pindah ke Batavia menjadi pemburu berita di sana.
Lahirnya Lagu "Indonesia Raya"
Suatu saat, WR Supratman membaca sebuah tulisan di majalah terbitan Solo, Jawa Tengah, bernama Timbul.
Isi di dalamnya terdapat, "Alangkah baiknya kalau ada salah seorang dari pemuda Indonesia yang bisa menciptakan lagu kebangsaan Indonesia, sebab lain-lain bangsa semua telah memiliki lagu kebangsaannya masing-masing!"
Sejak itu, dia mulai berusaha menggubah lagu untuk menciptakan lagu kebangsaan Indonesia, hingga lahirlah "Indonesia Raya" pada pertengahan 1928. Setelah "Indonesia Raya" diterima dan diakui Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 sebagai lagu kebangsaan, maka berkumandanglah lagu itu ke seluruh pelosok negeri.
Lantaran sangat dibutuhkan teks musik yang lebih tepat, maka pada 1944 dibentuklah Panitia Lagu Kebangsaan Indonesia yang diketuai Sukarno.
Anggota untuk kepanitian ini adalah Ki Hadjar Dewantara, Achiar, Sudibyo, Darmawidjaja, Koesbini, KH M Mansjur, Mr Mohammad yamin, Mr Sastrimoeljono, Sanusi Pane, C Simanjuntak, Mr Achmad Soebardjo, dan Mr Oetojo.
(nah/faz)