Beberapa kasus bullying di sekolah terkadang tidak direspons dengan serius oleh para guru karena menganggap hal itu hanya bercanda. Ingat, bullying tidak sama dengan bercanda! Kenali perbedaannya.
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mencontohkan, orang dewasa di sekitar anak seperti guru dan orang tua perlu punya persepsi yang sama soal bullying saat bercanda. Bercanda tanpa bullying itu menyenangkan bagi kedua pihak. Sedangkan bercanda yang menyakiti salah satu pihak sudah merupakan bentuk bullying.
"Kalau ngomongin bully dalam bercanda, yang satu senang, yang satu tersakiti. Jadi bully bukan bercanda, bully itu tidak sama dengan bercanda," jelasnya saat dihubungi detikEdu, ditulis Kamis (22/2/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melansir Direktorat SMP Kemdikbud dari arsip detikEdu, berikut bedanya bullying dan bercanda:
- Bercanda
Bercanda adalah salah satu bentuk komunikasi sehari-hari. Menurut situs Universitas Islam Indonesia (UII), meski bercanda kerap dipakai untuk menghibur teman, terdapat beberapa tata krama yang perlu dicatat.
Sesuatu dianggap bercanda jika:
- Semua orang menikmati dan bersenang-senang.
- Tidak ada yang tersakiti
- Semua dapat berpartisipasi dengan setara (tidak ada pihak yang lebih tersudut).
- Perundungan/Bullying
Berbeda jauh dengan bercandaan, perundungan akan merugikan salah satu pihak. Perundungan adalah perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik, ataupun sosial di dunia nyata maupun maya. Tindakan ini menyebabkan seseorang merasa tidak nyaman, sakit, hati, dan tertekan.
Pemahaman perbedaan antara bercanda dan bullying ini, imbuh Retno, diharapkan menghindari potensi risiko siapapun, termasuk orang tua dan guru menjadi orang dewasa pelaku bullying bagi anak.
"Dibangun melalui implementasi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 (tentangPencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan/PPKSP). Memang ini terlalu masih umur jagung karena baru terbit 3 Agustus 2023. Kita harapkan bimbingan teknis berikut cara pandang. Mindset-nya para guru juga itu pasti juga tuh perlu ditangani sehingga tidak lantas jadi pelaku perundungan itu sendiri," ucapnya pada detikEdu.
Jangan Mencontohkan Perilaku Buruk pada Anak
Retno menegaskan, baik guru dan orang tua perlu mencontohkan karakter baik pada anak. Ia mencontohkan, sepanjang seorang anak merupakan siswanya, guru tidak boleh gentar akan kedudukan dan privilege keuangan orang tuanya. Sebab, guru perlu ingat dengan niatnya mengajari karakter yang baik bagi siswa dan tidak takut selama benar sesuai peraturan perundang-undangan.
"Dan kalau guru kreatif, muridnya pasti kreatif. Sekarang gurunya nggak kreatif, mau berharap murid kreatif dari mana? Anak meniru, melihat gurunya. Jika gurunya nggak berani, penakut, anak-anak bagaimana? Gurunya merasa rendah diri karena duit nggak ada, sementara ini orang kaya-kaya, kira-kira akan bagaimana?" ucapnya.
Sementara itu, sambungnya, jika ada orang tua yang kemudian justru melakukan pendekatan uang dan kuasa pada guru yang berniat membangun karakter anak, maka tidak heran anak-anaknya juga merasa punya uang dan kuasa.
"Kita ditiru anak, jadi sebagai orang tua itu membangun karakter pertama dan utama bagi perkembangan anak kita. Jika ada orang tua yang sok kuasa karena uangnya, pantas anaknya begitu juga. Sementara kendati jika kita pejabat, tetapi tetap menghargai para guru yang mendidik anak selama jam belajar, guru itu juga akan berupaya yang sama," terang Retno.
"Sekali lagi, anak-anak kita ngelihat apa yang kita lakukan, orang di luar sana lakukan. Jadi kalau pola-pola dari kita juga melakukan bentuk kekerasan, intimidasi, sok kuasa karena jabatan, uang kita, maka selama itu juga anak kita akan meniru kita seperti itu. Dan guru-guru juga tidak memiliki kemampuan ketika guru juga ditindas. Dampak dari sebuah relasi kuasa. Pendidikan macam apa yang mau dibangun ketika gurunya tidak dihargai?" gugat Retno.
(twu/nwk)