Menjadi hasil pembuangan akhir manusia, air limbah rumah tangga ternyata memiliki nilai guna yang cukup tinggi. Hal tersebut ditemukan oleh peneliti di Peneliti Pusat Kajian Kesehatan Anak (PKKA-PRO) Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menggunakan air limbah sebagai alat deteksi COVID-19.
Ketua tim PKKA-PRO dr Indah Kartika Murni menjelaskan air limbah rumah tangga umumnya mengandung tinja dan urine yang di dalamnya terdapat bagian virus SARS-CoV-2 yang sudah tidak menular.
"Tinja dan urine itu dari individu yang terinfeksi COVID-10 baik bergejala maupun tanpa gejala," ungkap dr Indah dikutip dari rilis di laman resmi UGM, Rabu (31/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deteksi Peningkatan COVID-19 Dua Minggu Lebih Awal
Faktanya, sistem ini sudah diterapkan oleh beberapa negara maju untuk mendeteksi hadirnya COVID-19 seperti Amerika Serikat dan Belanda. Namun, di Indonesia surveilans air limbah baru dilakukan untuk deteksi wabah polio.
Untuk itu, tim PKKA-PRO berkolaborasi dengan Murdoch Children's Research Institute (MCRI), Australia melakukan penelitian terkait hal ini pada tahun 2021-2022 lalu.
Hasilnya menunjukkan surveilans air limbah mampu mendeteksi adanya peningkatan kasus COVID-19 hingga dua minggu lebih awal. Dibanding dengan data temuan peningkatan kasus di masyarakat.
Kini, penelitian awal itu dikembangkan lebih lanjut untuk melihat efektivitas biaya dari penerapan surveilans air limbah. Tujuannya agar metode ini bisa menjadi sistem kewaspadaan dini kasus COVID-19 dan bisa diimplementasikan sebagai program surveilans rutin.
"Penelitian dilakukan tidak hanya mencoba menerapkan kemampuan surveilans limbah sebagai sistem kewaspadaan dini peningkatan kasus COVID-19 di komunitas. Namun, juga untuk melihat efektivitas biaya dalam metode ini jika diimplementasikan sebagai program surveilans rutin," tambahnya.
Hingga akhirnya pada 12 Januari 2024 lalu, tim peneliti PKKA-PRO melakukan diseminasi hasil penelitian uji efektivitas biaya. Proses ini melibatkan Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK), Kementerian Kesehatan RI, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), World Health Organization (WHO), dan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Penelitian menunjukkan bahwa sistem surveilans air limbah memiliki potensi sebagai opsi yang lebih ekonomis untuk mendukung sistem peringatan dini dalam situasi pandemi. Terlebih bagi negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah.
Sehingga dibutuhkannya dukungan kebijakan yang kuat dan tepat waktu oleh lembaga-lembaga terkait. Hal tersebut dilakukan sebagai faktor utama dalam menentukan keberhasilan sistem ini.
Dengan hasil memuaskan ini, salah satu tim peneliti, dr Vicka mengungkapkan rencana selanjutnya. Menurutnya, pelaksanaan surveilans air limbah bisa dimulai dengan pembentukan jejaring nasional yang melibatkan berbagai pihak.
"Kedepannya, kita dapat membuat jejaring nasional untuk surveilans air limbah berisi aktor-aktor yang dapat bekerja bersama untuk mengembangkan surveilans air limbah ini," tutup dr. Vicka.
(det/nah)