Aksi mahasiswa di Aceh yang sempat mengusir pengungsi Rohingya mendapat perhatian dari berbagai pihak. Pasalnya, aksi mahasiswa tersebut dinilai ada unsur paksaan dan berpotensi memberi efek trauma kepada pengungsi.
Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) merespons kejadian ini dengan keprihatinan. Sebab, aksi massa yang dilakukan mahasiswa menyebabkan pengungsi yang mayoritas anak-anak dan perempuan menjadi terkejut dan trauma.
"UNHCR sangat prihatin melihat serangan massa di lokasi penampungan keluarga pengungsi yang rentan, yang mayoritasnya adalah anak-anak dan perempuan di kota Banda Aceh, Indonesia," bunyi pernyataan UNHCR, dikutip dari CNN Indonesia, Jumat (29/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara menurut Direktur Eksekutif ASEAN Studies Center, Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Dafri Agussalim, mahasiswa tidak perlu bertindak secara fisik, terlebih dengan unsur paksaan.
"Seharusnya mahasiswa kita tidak perlu bertindak secara fisik seperti itu, apalagi sampai memaksa para pengungsi perempuan dan anak-anak naik kembali ke kapal dan memaksa mereka pulang atau keluar dari wilayah Indonesia," ucapnya kepada detikEdu, saat dihubungi via online, Kamis (28/12/2023).
Menurutnya, dengan melakukan itu berarti telah menjatuhkan citra Indonesia sebagai warga dunia yang baik di mata publik Internasional.
"Mereka boleh saja menolak kedatangan para pengungsi tersebut tapi tidak dengan tindakan yang membahayakan para pengungsi seperti itu," imbuh Agussalim.
Mahasiswa Seharusnya Mendesak Pemerintah Pusat dan Daerah
Agussalim berpendapat, mahasiswa bisa melakukan aksi untuk mendesak pemerintah pusat dan daerah. Tujuannya adalah agar pemerintah bisa segera menangani masalah pengungsi Rohingya secara tegas dan terukur tanpa membahayakan nyawa mereka, serta tidak merugikan kepentingan masyarakat lokal.
"Seharusnya mahasiswa tersebut sensitif terhadap isu kemanusiaan. Sebagai warga dunia, Indonesia juga punya 'kewajiban' dan sikap simpati dan empati terhadap isu-isu kemanusian," ucap Agussalim.
Lebih lanjut, pakar UGM satu ini mengatakan bahwa Indonesia memiliki kewajiban untuk memperhatikan aspek etika dan norma kemanusiaan.
Karena hal ini sudah tercantum dalam konstitusi (pembukaan UUD '45) dan Pancasila. Meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi, tapi Indonesia adalah negara peserta (yang meratifikasi) berbagai kovenan dan konvensi HAM.
"Ada kaitannya dengan isu-isu kemanusiaan seperti isu pengungsi tersebut. Dengan meratifikasi berbagai konvensi dan kovenan HAM Internasional berarti Indonesia telah sepakat dan bersedia memikul tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan HAM," papar Agussalim.
Negara Harus Bertindak Lebih Cepat
Terkait peristiwa pengungsi Rohingya ini, Agussalim mengatakan bahwa negara seharusnya hadir dengan lebih cepat, jelas dan kuat.
Menurutnya, negara harus mempunyai rasa sensitivitas yang tinggi terhadap kehadiran pengungsi Rohingya. Misalnya negara (pemerintah pusat dan daerah) seharusnya bertindak cepat, tegas dan terukur terhadap kedatangan para pengungsi.
Agussalim juga membeberkan langkah-langkah untuk bertindak cepat tersebut, antara lain:
1. Mencegah mereka datang ke Indonesia dengan cara langsung melakukan kerja sama (tindakan bersama) dengan negara asal pengungsi, menindak aktor tengah (pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO]), calo-calo dan lembaga-lembaga terkait lainnya (dalam dan luar negeri) yang ada kaitannya dengan kedatangan pengungsi tersebut.
2. Khusus untuk para pengungsi yang sudah datang, segera pindahkan mereka ke tempat penampungan sementara yang aman dari timbulnya gesekan dengan masyarakat lokal Indonesia.
3. Setelah mereka di tempat penampungan sementara, lalu adakan semacam identifikasi atau klarifikasi siapa yg benar-benar pengungsi dan siapa yang sesungguhnya hanya pencari suaka atau illegal migrant atau bentuk kejahatan lainnya.
4. Mereka yang masuk kategori bukan pengungsi bisa dikembalikan ke negara asalnya melalui proses yang sesuai norma-norma internasional yang berlaku.
5. Sementara yang dinyatakan sebagai pengungsi tetap ditampung sementara dahulu untuk dicarikan negara tujuan akhir.
"Untuk itu negara (pemerintah) harus berjuang keras (melakukan diplomasi) dan bekerja sama dengan negara-negara lain dan lembaga-lembaga Internasional seperti UNHCR, IOM, dan lembaga-lembaga masyarakat sipil yang bergerak dalam bidang perlindungan terhadap para pengungsi serta tentu saja harus melibatkan dan bekerja sama dengan pemerintah daerah di mana para pengungsi berada," pungkasnya.
(faz/nwk)