Kabar duka datang dari salah satu alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Sebelas Maret (UNS), dr Mueen Al Shurafa SpAn. Ia dikabarkan meninggal dunia setelah tempat tinggalnya di Palestina terkena serangan bom dari Israel.
Sosok dr Mueen cukup lama menempuh pendidikan di Indonesia. Ia mengenyam pendidikan S2 di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM pada tahun 2010.
Lalu ia melanjutkan kembali pendidikannya di UNS dengan mengambil program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi pada tahun 2013. Di UNS, dr Mueen berkuliah dengan beasiswa dari Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut dibenarkan oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Anggota MPA BSMI, Basuki Supartono. Ia mengatakan bahwa BSMI menyediakan beasiswa bagi beberapa dokter di Gaza untuk bisa menempuh pendidikan di Indonesia.
"Kami memutuskan membuat program beasiswa pendidikan dokter, dengan pertimbangan dokter di wilayah Gaza sangat-sangat kurang," kata Basuki, dilansir dari detikJateng, Jumat (10/11/2023).
Pemberani dan Tak Pernah Mengeluh
Basuki kemudian menceritakan tentang sosok almarhum dr Mueen. Ia bercerita bahwa dr Mueen adalah pribadi yang sangat berani dan tidak pernah mengeluh.
"Beliau ini adalah pribadi yang mulia. Beliau adalah dokter umum yang kami jemput tahun 2009, ketika ada agresi Israel," kata Basuki..
Selama berkuliah di FK UNS, dr Mueen tinggal di Kota Solo bersama keluarga. Ia dan keluarga tinggal di rumah KMS anestesi UNS milik Purwoko.
"Mereka hidup damai, bahkan bertambah putranya 4 jadi total anaknya ada 7," tutur Basuki.
Semangat Perbaiki Pelayanan RS di Palestina
Setelah lulus dari UNS tahun 2018, dr Mueen kembali ke Gaza bersama keluarganya. Di sana ia tinggal di rumah orang tuanya yang kini telah dibom.
Selama itu, dr Mueen bekerja di rumah sakit pemerintah yakni Kamal Adwan. Basuki mengatakan bahwa almarhum masih sering berkabar setelah pulang ke Gaza.
"Dia bilang 'sekarang dengan ilmu saya, saya bisa memperbaiki kualitas pelayanan di rumah sakit saya bekerja'. Jadi dia ada harapan untuk membagikan ilmunya ke dokter-dokter di Palestina," ucap Basuki.
Meski kondisi di Gaza demikian, menurut Basuki sang dokter tersebut tak pernah mengeluh dan selalu optimis selama berkomunikasi.
"Kira-kira dua minggu sebelum peristiwa ini, dia bekerja 1 menit 10 pasien. Dia kirim gambar, gambar yang beredar di media sosial itu. Tapi dia tidak pernah mengeluh, selalu optimis," kata Basuki
(cyu/pal)