Dukungan terhadap hak kemanusiaan di tanah Palestina turut disuarakan oleh mahasiswa-mahasiswa di Amerika Serikat termasuk dari kampus-kampus Ivy League. Namun, dukungan itu berujung pada intimidasi hingga ancaman dari lembaga pemerintah.
Diketahui, mahasiswa-mahasiswa di AS terus mengkritik penjajahan Israel yang sedang berlangsung di Gaza, di mana diperkirakan lebih dari 10.000 warga Palestina telah terbunuh. Mahasiswa-mahasiswa tersebut tergabung dalam komunitas aktivisme pro-Palestina. Sayangnya, dukungan terhadap kebenaran itu berujung pada intimidasi, penyelidikan, hingga ancaman kepada mahasiswa.
Ancaman terhadap Pekerjaan, Doxxing, hingga Kekerasan Fisik
Melansir laman Middle East Eye, para mahasiswa di sejumlah sekolah Ivy League yang mengikuti aktivisme terkait dukungan terhadap Palestina mendapat ancaman dengan pembatalan tawaran pekerjaan, kampanye doxxing, dan bahkan kekerasan fisik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Intimidasi tidak hanya terjadi kepada mahasiswa-mahasiswa yang secara terang-terangan mendukung Palestina, namun telah meluas ke mereka yang sekadar menyerukan gencatan senjata di Gaza. Di tengah genosida yang terjadi di Gaza, mahasiswa pro-Palestina kecewa karena pemerintah hanya diam dan tidak mendukung para pelajar.
Bahkan seorang miliarder alumnus dan donor Harvard meminta universitas untuk merilis nama-nama mahasiswa yang menyalahkan blokade Israel selama 17 tahun di Gaza. Pengaruhnya digunakan untuk memengaruhi perusahaan-perusahaan agar tidak mempekerjakan mereka.
Selain itu, sebuah "daftar teror perguruan tinggi" yang dipublikasikan secara online juga mengancam mahasiswa. Sebab dalam daftar itu, mencakup informasi pribadi mahasiswa yang menandatangani dukungan kepada Palestina. Praktik semacam ini dikenal sebagai "doxxing".
Tidak hanya mahasiswa, beberapa profesor di sekolah-sekolah Ivy League juga menghadapi seruan agar mereka dipecat karena pernyataan atau tulisan mereka tentang Palestina.
Misalnya, Profesor Joseph Massad dari Kolombia mendapat petisi yang meminta universitas memecatnya, setelah dia menulis opini yang menganalisis serangan yang dilancarkan oleh kelompok bersenjata Palestina terhadap Israel.
250 Alumni Ivy League Mendukung Mahasiswa Pro-Palestina
Mengetahui intimidasi ini, lebih dari 250 alumni mengecam pihak administrasi universitas karena tetap diam di tengah adanya kecaman terhadap mahasiswa pro-Palestina di kampus-kampus.
Lebih dari 250 alumni dari setiap universitas di Ivy League berkumpul untuk menandatangani surat terbuka sebagai solidaritas terhadap mahasiswa yang ikut serta dalam demonstrasi pro-Palestina di kampus.
Surat tersebut juga mengecam diamnya lembaga-lembaga tersebut di tengah adanya gerakan untuk membungkam pidato yang mendukung hak-hak Palestina.
"Palestina yang merdeka berada dalam jangkauan kita. Sebagai alumni dan sesama anggota komunitas, kami berdiri bersama untuk meningkatkan aktivisme mahasiswa," kata surat yang ditandatangani oleh 263 orang, dikutip dari Middle East Eye.
"Dengan hak-hak istimewa dalam hidup dan bersuara yang saat ini tidak dimiliki oleh banyak orang, mari kita tetap semangat dan terus memberikan pencerahan di mana penindasan telah tumbuh dalam kegelapan. Sejarah ada di pihak kita," lanjut surat tersebut.
Melalui surat ini, para alumni mengatakan terganggu melihat almamater mereka justru membiarkan kerugian terhadap anggota kampus mereka sendiri, yang berbicara tentang krisis kemanusiaan.
"Kami menyusun surat ini untuk mendukung generasi muda pemberani yang ditinggalkan oleh pemerintahan mereka, yang menempatkan diri mereka dalam risiko untuk membela keadilan dan berbicara menentang genosida," kata surat itu.
Organisasi Kebebasan Sipil di AS Kritik Lembaga Kampus
Persatuan Kebebasan Sipil Amerika (ACLU) menolak seruan untuk menyelidiki dan membubarkan organisasi mahasiswa yang mendukung Palestina.
Mereka justru mendesak perguruan tinggi dan universitas untuk menghormati kebebasan berpendapat terhadap organisasi mahasiswa yang melakukan unjuk rasa atas nama hak-hak Palestina.
Dalam sebuah surat terbuka kepada institusi akademis, ACLU memperingatkan terhadap upaya bermotif politik untuk mengawasi pidato di kampus, yang dapat menghancurkan fondasi di mana komunitas akademis dibangun.
"Sebuah perguruan tinggi atau universitas, baik negeri atau swasta, tidak dapat memenuhi misinya sebagai forum perdebatan sengit jika para pemimpinnya memulai penyelidikan tidak berdasar terhadap mereka yang mengungkapkan pandangan yang tidak disukai," bunyi surat ACLU, dikutip dari Al Jazeera.
"Investigasi semacam itu melemahkan ujaran, menumbuhkan suasana saling curiga, dan mengkhianati semangat penyelidikan bebas," lanjut isi surat tersebut.
ACLU mengatakan bahwa meskipun mereka tidak memihak dalam konflik di luar negeri, tapi mereka sangat menentang upaya untuk mengekang kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan akademik di dalam negeri.
"Atas nama prinsip-prinsip tersebut, kami mendesak untuk menolak seruan untuk menyelidiki, membubarkan, atau menghukum kelompok mahasiswa atas dasar pelaksanaan hak kebebasan berpendapat," kata surat itu.
(faz/nwk)