Meraih pendidikan setinggi-tingginya bagi anak-anak yang datang dari keluarga tanpa privilese, acap membutuhkan proses lebih sulit. Hal ini juga sempat dialami oleh Yuli Sutoto Nugroho, mahasiswa S3 Queen Mary University of London.
Privilese menurut Yuli memang dapat mempermudah meraih pendidikan tinggi. Kendati demikian, anak-anak yang berasal dari layar belakang sebaliknya pun tetap mempunyai peluang.
"Bagi kita yang berasal dari keluarga sebaliknya, saya yakin tetap memiliki peluang meskipun tidak sebesar mereka," ucapnya kepada detikedu, ditulis Rabu (9/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lulus dari sekolah menengah atas, Yuli tak dapat langsung menikmati pendidikan S1. Bahkan, sebenarnya ia sempat diminta tidak melanjutkan sekolah saat SMA kelas 1.
Permintaan orang tuanya itu muncul karena keadaan ekonomi keluarga tidak dalam kondisi baik. Kondisi tersebut akhirnya membuat Yuli harus menunda masuk kuliah hingga 5 tahun.
Bisa S3 Ibarat Memasukkan Benang ke Jarum
Mengingat pernah gap year selama 5 tahun, Yuli mengibaratkan proses hingga dapat S3 di luar negeri sebagai memasukkan benang ke dalam jarum.
"Mungkin saya terlambat, tapi hingga bisa S3 di luar negeri, saya ibarat memasukan benang ke dalam jarum," ujarnya.
Yuli mengumpamakan perjalanan menuju S3-nya seperti meruncingkan benang dahulu, memastikan benang tidak lebih besar dari lubangnya, dan berbagai persiapan lainnya.
"Sehingga dalam sekali coba, benang bisa masuk ke jarum tanpa meleset kemana-mana. Itulah yang rasanya saya lakukan dalam proses meraih pendidikan tinggi ini," jelas Yuli.
"Tidak terburu-buru, tetapi melakukannya dalam waktu yang tepat," imbuhnya.
Upaya memperoleh pendidikan tinggi bagi anak-anak dari keluarga kurang privilese secara finansial, tentunya perlu didukung oleh orang tua. Menurut Yuli, ortu sangat perlu mendukung mimpi anaknya.
"Menurutku orang tua sangat perlu untuk mendukung mimpi anaknya. Mungkin tidak semua orang mampu dalam membiayai kuliah, tapi dengan memberikan motivasi dan tidak pernah "melepaskan tangannya" apapun kondisinya, itulah sebenarnya yang menjadi bahan bakar semangat bagi mereka yang memiliki mimpi untuk kuliah," ucapnya.
Pengorbanan untuk Bisa ke Perguruan Tinggi
Mengingat perjuangannya dahulu, Yuli mengatakan ada beberapa hal yang dikorbankan demi memperoleh pendidikan dan kesempatan yang lebih baik dalam kehidupan, salah satunya usia. Saat masih S1, dia menjadi mahasiswa baru bersama teman-teman yang usianya terpaut cukup jauh.
"Apakah kadang mereka membahas umur? Jawabannya iya. Apakah saya malu? Tentunya iya. Tapi tak mengapa, saya bisa kuliah saja sudah sangat bersyukur, dan teman-teman pun tidak setiap hari berkomentar, sekali, dua kali, setelah itu mereka pun melupakannya," ungkapnya.
Di samping itu, Yuli juga mengakui ada waktu dan tenaga lebih yang perlu dikorbankan. Pada saat beberapa semester awal kuliah S1, dia belum mempunyai laptop, padahal mengambil jurusan teknik elektro. Maka dari itu, dahulu Yuli kerap meminjam laptop kepada temannya untuk mengerjakan tugas ataupun ke warnet.
"Dan kondisi saat itu, saya juga sambil bekerja, jadi benar-benar harus siap mengatur waktu dan tenaga dari bangun tidur," tuturnya.
Walau mengalami banyak kesulitan, pria yang kini merupakan dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut memiliki kunci untuk bertahan.
"Menurut saya kuncinya adalah percaya bahwa bintang di langit tidak hanya satu. Misal kita memiliki suatu mimpi maka yakin dulu kalau ada peluang ke sana atau at least sedikit di bawahnya. Dengan begitu kita bisa mengatur milestone untuk mencapainya," terangnya.
"Memang tidak semua yang kita inginkan dapat terwujud, bisa jadi jatuh bangun atau bahkan gagal. Tapi, kita bisa memiliki target yang lebih dari satu, sehingga jika satu gagal, masih banyak target lain yang berpeluang untuk dicapai," lanjutnya.
Meski kini tengah mengenyam pendidikan S3, Yuli menegaskan posisinya kini tidak dapat dikatakan nyaman. Setelah memperoleh beasiswa S3 di Inggris tersebut, menurutnya bukan berarti tanggung jawab sudah selesai.
"Justru ada challenge baru di tempat baru yang perlu saya hadapi," kata dia.
Trik Produktif Berjejaring dengan Pakar Luar Negeri
Yuli bercerita, semasa masih kuliah S2, dia pernah ke London untuk ikut konferensi internasional di Imperial College London. Di sana ada banyak peserta yang berasal dari mancanegara, salah satunya dosen dari Monash University.
"Dia melihat saya presentasi dan kita sempat ngobrol sedikit pasca acara serta bertukar kontak. Beberapa waktu kemudian, setelah saya pulang ke Indonesia, dosen tersebut mengontak saya melalui email dan dia menawarkan saya untuk kuliah S3 di Monash University di bawah bimbingannya, dia bahkan menawarkan beasiswa," jelas Yuli.
Dia mengaku cukup kaget dengan tawaran tersebut. Saat itu, Yuli masih berstatus mahasiswa S2.
Menurutnya, para akademisi di Indonesia perlu aktif melakukan publikasi dan mengikuti konferensi internasional supaya dapat terus berjejaring dengan akademisi atau pakar dari luar negeri.
Ketika kemudian menjadi dosen, Yuli mengaku mulai aktif melakukan publikasi ilmiah.
"Saya mencoba melamar supervisor di Inggris dengan research interest yang selaras. Ketika sesi interview, mereka bertanya-tanya mengenai riset yang pernah dilakukan," ujarnya.
"Walaupun mungkin publikasi saya belum begitu banyak, namun mereka tertarik untuk menerima saya sebagai mahasiswa PhD di bawah bimbingannya," imbuh Yuli.
Di Inggris Tak Boleh Viralkan Orang
Sekarang ini, Yuli masih belum genap 1 tahun di Inggris. Namun, dia kerap berbagi pengalaman mengenai perkuliahan dan kehidupan di sana melalui Instagram pribadinya.
Selain itu, dia juga membagikan informasi seputar beasiswa melalui kanal yang sama. Selama menjadi mahasiswa di Inggris, Yuli mengaku sangat kagum dengan budaya disiplin dan privasi.
"Antrian ada dimana-mana dan saya juga pernah merasakan sendiri mengantri sekitar 3 jam, waktu baru sampai di London untuk mengambil Biometric Residence Permits (BRP). Tidak terlihat ada orang menyerobot antrian meskipun begitu panjangnya," ujarnya.
Yuli mencontohkan lagi, di Inggris tidak ada jam karet. Sebagai contoh, perkuliahan jam 09.00 maka akan benar-benar siap pada waktu tersebut atau bahkan sebelumnya.
"Hal ini mempermudah kita menyusun jadwal harian tanpa ragu kapan acara A akan selesai dan kapan acara B akan dimulai," kata dia.
Pada segi privasi, di Inggris tidak boleh merekam atau mengambil potret wajah seseorang tanpa izin, apalagi diposting di media sosial agar viral.
"Bahkan untuk penelitian yang bersifat positif pun, kita harus melewati review dari Ethical Committee dan meminta tanda tangan consent kepada participants apabila ada aktivitas perekaman atau pengambilan foto dalam penelitian kita," beber Yuli.
Dia sendiri pernah mengalami kesalahpahaman ketika membuat vlog. Suatu saat, Yuli menggunakan kamera bagian depan untuk merekam dirinya sendiri, tetapi orang yang berjalan di depannya mengira Yuli tengah merekam dirinya.
"Akhirnya dia marah dan mau memukul saya, padahal hanya salah paham," ujarnya.
(nah/pal)