Kurikulum sekolah bisa berbeda di tiap negara. Nah detikers, tahukah kamu bagaimana kurikulum di Negara Ratu Elizabeth itu?
Selepas usia 16 tahun, siswa akan belajar dengan kurikulum Advanced Level qualifications atau A-Levels. Pada kurikulum ini, siswa diperbolehkan untuk memilih sendiri subjek yang ingin dipelajari. Dengan tetap mempertimbangkan subjek yang akan membantu mereka masuk ke universitas kelak.
Salah satu siswa asal Indonesia, Tamara Feri Kusuma Putri, melanjutkan jenjang SMAnya di Cardiff Sixth Form College. Setelah mengikuti 1 tahun sekolah di SMA Taruna Nusantara, Magelang, Tamara bertolak ke Inggris untuk menempuh pendidikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak selalu cerah, Tamara mengaku motivasi belajarnya selain karena minat adalah tidak ada 'pintu keluar' dari sekolah di luar negeri. Ia akan sulit menempuh perguruan tinggi di Indonesia karena tidak adanya ijazah SMA.
Lantas bagaimana Tamara mengatasi kesulitannya sekolah di luar negeri? simak kisahnya sebagaimana diceritakan kepada detikEdu.
Materi hingga Ujian yang Berbeda
Berbeda dengan kurikulum nasional, di sana Tamara dibebaskan memilih empat subjek saja selama sekolah. Meski demikian, isi materi yang diajarkan berbeda dengan di tanah air. Ditambah dengan bahasa pengantar yang 'asing'.
"Untuk bahan belajar terminologinya itu berbeda banget sama bahasa Inggris buat conversation. It was pretty hard of me at first," jelasnya.
Selain itu, tipe ujian yang diberikan juga berbeda dengan Indonesia. Di Program A-Levels ujian yang diberikan berbentuk essai dan isian singkat. Hal ini sempat membuat nilai Tamara menurun.
"Habis ulangan pertama aku itu jelek banget. Aku engga pernah nilainya sejelek ini," ujar Tamara.
Saat itu, Tamara mendapat nilai E pada ujian Biologinya. Tamara mengaku ia masih menyesuaikan cara belajarnya dengan kurikulum sekolah waktu itu.
Tamara yang saat itu mendapat beasiswa sampai dikirimi surat oleh Kepala Sekolah.
"Aku dikirimi surat dari Kepala Sekolah kalau scholarshipku bisa dicabut. Jadi aku harus bisa gitu," jelasnya.
Sendiri di Negeri Orang
Usia 16 tahun terbilang cukup muda untuk 'merantau' sendiri ke negeri orang. Terlebih Tamara merupakan satu-satunya siswa Indonesia di sekolahnya.
Meski berada di Inggris, mayoritas siswa di Cardiff Sixth Form College merupakan orang Hongkong dan China.
"Jadi mereka kalau ngomong pake bahasa Mandarin atau Cantonese. Aku ngerasa i was an outsider. Aku engga ngerti mereka ngomong apa. Aku engga bisa join," ujarnya.
Dilema Kembali ke Tanah Air
Dengan tuntutan akademik dan perasaan sendiri, Tamara sempat dilema untuk kembali ke Indonesia. Namun, ia teringat kesempatannya untuk kemudian berkuliah di Indonesia juga sempit. Sebab ketiadaan ijazah SMAnya.
"Aku engga mungkin balik ke Indonesia karena aku engga punya ijazah keluaran SMA," ujarnya.
"Aku sudah terlanjur di sini. Aku engga bisa mundur, udah stuck. Akhirnya i just gotta do it," sambungnya.
Memperbaiki Nilai dengan Belajar Sampai Pagi
Tamara mulai memperbaiki cara belajarnya. Meski menurutnya, cara belajarnya termasuk ekstrem.
"Aku belajarnya agak ekstrem. Belajar nyampe jam 5 pagi karena sekolah aku mulai jam 9. Jadi aku tuh tidur pakai seragam dan engga mandi biar langsung berangkat," tuturnya.
Sepulang sekolah pukul 6 sore, Tamara akan istirahat dan mulai belajar hingga pukul 12 malam. Setelah istirahat selama 30 menit, Tamara akna lanjut belajar sampai 5 pagi.
"Dulu aku setres banget sih. Aku ngerasa alone di sini. Orang-orang mikirnya enak hidupnya huru-hara, tapi engga. Beda lagi kalau gagal mau jadi apa karena aku udah engga punya ijazah SMA jadi aku engga boleh gagal," ceritanya.
Tamara juga akan datang lebih awal untuk belajar mandiri dengan gurunya. Ia akan datang pukul 07.30 pagi untuk bertanya tentang materi yang belum dipahami.
Dengan perjuangan Tamara, akhirnya ia berhasil mengubah nilai E menjadi A dalam waktu 20 hari.
"Akhirnya ulangan nilaiku dapet A. Aku belajar dalam 20 hari dari ulangan sebelumnya yang dapet E. Jadi aku udah tahu cara belajar aku," jelasnya.
Perjuangan Tamara sekolah di luar negeri mengantarkannya pada 12 Letter of Acceptance dari 11 kampus top dunia. Kini Tamara sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti Beasiswa Indonesia Maju (BIM).
(nir/faz)