ChatGPT Tuai Polemik di Akademik, Bagaimana Cara Menggunakan yang Tepat?

ADVERTISEMENT

ChatGPT Tuai Polemik di Akademik, Bagaimana Cara Menggunakan yang Tepat?

Fahri Zulfikar - detikEdu
Sabtu, 20 Mei 2023 10:00 WIB
Sejak dirilis untuk publik pada akhir tahun silam, ChatGPT langsung populer. Hal ini karena dianggap ChatGPT merupakan program kecerdasan buatan yang takjub.
Foto: Future Publishing via Getty Imag/Future Publishing
Jakarta -

Dunia kecerdasan buatan atau artificial intelligence telah sampai pada ChatGPT (Generative Pre-trained Transformer). ChatGPT adalah teknologi pengembangan bahasa alami yang bisa berkomunikasi dengan manusia.

Teknologi yang dikembangkan OpenAI ini mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia dengan kapasitas informasi yang sangat luas.

ChatGPT lebih revolusioner dibanding search engine yang memberikan sumber-sumber jawaban, karena bisa merespons pertanyaan langsung dan membuatkan bentuk sumber jawabannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak heran, ChatGPT pun menjadi kecerdasan buatan yang sangat populer saat ini di dunia. Bahkan dalam dua bulan pertama, ChatGPT mampu meraih 100 juta pengguna, termasuk kalangan mahasiswa.

Sebuah survei di Stanford University, Amerika Serikat menunjukkan sebanyak 17 persen mahasiswa menggunakan teknologi tersebut untuk ujian akhir.

ADVERTISEMENT

Dari 17% tersebut, hampir 60% menggunakan AI untuk brainstorming, outlining, dan mencari ide. Kemudian sekitar 30% untuk menjawab soal pilihan ganda.

Ada juga yang menggunakan hasil dari ChatGPT dengan sejumlah pengeditan. Hanya 5% yang menggunakan tulisan dari ChatGPT tanpa mengubah atau hanya sedikit mengubah hasilnya.


ChatGPT untuk Mahasiswa: Dilarang atau Dimanfaatkan?

Meski belum banyak digunakan mahasiswa Indonesia, ChatGPT telah menuai polemik di kalangan akademisi ataupun lembaga pendidikan.

Beberapa berpendapat ChatGPT atau teknologi AI patut dimanfaatkan sebagai alat bantu di dunia pendidikan. Sedangkan beberapa yang lain mengatakan ChatGPT perlu waspadai karena alasan akurasi data/informasi.

Rektor Universitas Telkom Prof. Dr. Adiwijaya, menilai ChatGPT bukanlah sesuatu yang harus dihindari oleh dosen maupun mahasiswa.

Menurutnya, kemajuan teknologi tak bisa dilawan. Ketimbang "dimusuhi", chatbot buatan OpenAI itu justru bisa dimanfaatkan menjadi alat bantu di dunia pendidikan.

"Jadi perkembangan teknologi itu memang tidak bisa dihindari. Namun demikian, kita sebagai pendidik harus terus mengingatkan menginspirasi rekan-rekan di lingkungan pendidikan, termasuk mahasiswa, bahwa teknologi berkembang dan pasti berubah dengan cepat," ucapnya kepada detikEdu.

"Tetapi kita (manusia) harus tetap jadi center. Dalam artian kita harus paham bahwa yang namanya teknologi itu berubah. Teknologi itu membantu sebagai alat bantu, bukan untuk menggantikan kita," imbuh Rektor.

Cara Penggunaan ChatGPT yang Tepat untuk Mahasiswa

Bagaimanapun, ChatGPT tetaplah teknologi yang harus dikendalikan oleh manusia. Sepintar apapun ChatGPT, manusia tetap sebagai kuncinya.

Kepintaran ChatGPT memiliki dataset 300 miliar kata yang berasal dari dataset berukuran 570 GB dan terdiri dari crawled laman, buku, Wikipedia dll.

Namun, sepintar-pintarnya mesin yang didesain manusia, akurasinya tergantung kepada manusia yang memasukkan input data pada ChatGPT itu.

"ChatGPT masih terbatas dalam berbagi informasi yang dapat diaksesnya dari berbagai sumber namun tidak mengetahui keakuratan dari kesimpulannya sendiri," tulis Head of Education Ecosystem Telkom Indonesia, Sri Safitri dan Chairman CitiAsia Inc, Cahyana Ahmadjayadi dalam buku "ABCD...X Xperience Matters: Teknologi untuk Peradaban Digital".

1. Mahasiswa Harus Memberikan Input yang Cerdas

Dalam penggunaan ChatGPT, mahasiswa harus memberikan input yang cerdas. Apapun informasi yang ingin diketahui, bergantung pada apa yang mahasiswa tulis.

Misal, mahasiswa yang hanya mencari informasi jawaban tanpa penelusuran sumber kredibel dan keakuratan data, maka hanya menjadi tukang copy paste.

Mahasiswa perlu menggunakan ChatGPT dengan cara memasukan input yang ingin dicari beserta meminta sumber yang kredibel, kemudian bisa membaca dan menganalisis temuan sebagai informasi atau jawaban.

Cara cerdas sangat penting dilakukan mahasiswa untuk menghindari regulasi, isu plagiarisme, dan etika dalam lingkup akademik. Sebagaimana yang disampaikan Dosen pada Kelompok Keahlian Informatika, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, Dr. Eng. Ayu Purwarianti, S.T, M.T.

"Sebenarnya ChatGPT bermanfaat banget buat membantu kita belajar, tapi memang harus berhati-hati akan tujuan kita menggunakannya. Kalo misalnya mahasiswa disuruh bikin essay dengan tujuan supaya bisa memiliki kemampuan analisis yang lebih tinggi, serta lebih kritis dan kreatif maka jangan menggunakan ChatGPT. Silakan membuat essay dengan kalimat sendiri dan nanti dibandingkan dengan hasil ChatGPT," papar Dr. Ayu dikutip dari laman resmi ITB.

2. Mahasiswa Harus Memahami Ketidakakuratan ChatGPT

Dalam semua pertanyaan, ChatGPT memang selalu bisa menjawab pertanyaan yang sangat logis dan tepat. Namun, ketepatan itu tidak bersumber. Artinya hanya jawaban dari robot.

Maka dari itu, Dr. Ayu mengingatkan agar mahasiswa bisa lebih bijak lagi dalam menggunakan ChatGPT sebagai alat untuk belajar, karena risiko ChatGPT juga sangat banyak.

"Risiko pertama yaitu, tidak akuratnya informasi dan jawaban yang diberikan oleh ChatGPT, sehingga diharapkan agar pengguna melakukan validasi atau mencari sumber lain yang lebih terpercaya dalam mencari suatu informasi," terangnya.

Bahkan dalam laman Fisipol UGM, dijelaskan bahwa segala jenis AI termasuk ChatGPT mengandung bias berdasarkan kumpulan data yang dimasukkan ke mesin deep learning-nya.

Hal ini karena teks yang diproduksi oleh manusia dapat bersifat subjektif dan mengandung prejudice terhadap kelompok tertentu.

Meskipun tulisan ChatGPT terlihat cukup meyakinkan, sejumlah pengguna menemukan beberapa inkonsistensi dalam penyampaian fakta.

Misalnya, Ditemukan kasus di mana tulisan ChatGPT memberikan contoh palsu seperti judul buku ketika ditanya mengenai seorang public figure.

Apa yang Harus Kampus Lakukan?

Seorang profesor ilmu politik di Stanford University, Rob Reich, berpendapat bahwa (dalam dunia pendidikan) diperlukan regulasi terhadap ChatGPT.

Seperti pembatasan usia tertentu untuk pendidikan pertama atau menengah hingga diperlukannya badan pengawas independen untuk mengawasi penggunaan AI.

Berbeda dengan di Australia, beberapa kampus memilih mengalihkan ujian menggunakan kertas demi memitigasi risiko mahasiswa menggunakan ChatGPT dalam esainya.

Kampus-kampus di Australia menggunakan kebijakan dengan alasan "proactive tackling" terutama dalam meredesain bentuk-bentuk asesmen yang mengedepankan integritas dan mampu memitigasi perkembangan AI.

Sementara itu, Direktur Hilary Ballon Center for Teaching and Learning di NYU Abu Dhabi, Nancy Gleason, berpendapat ChatGPT sebenarnya dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pembelajaran bagi mahasiswa.

Dasar ini bersumber pada argumen bahwa teknologi AI di masa depan tidak akan menghilang. Jadi, perkembangannya akan memaksa setiap orang untuk menggunakannya dalam koridor tertentu bila dimungkinkan.

"Proses pembelajaran perlu dikembalikan pada menilai proses selain hanya hasilnya. Sebagai contoh aktivitas di kelas, dosen dapat membagi mahasiswa ke dalam kelompok dan meminta mereka untuk mengidentifikasi abstrak penelitian dari suatu topik yang diproduksi oleh ChatGPT dengan abstrak yang asli. Mahasiswa juga dapat diminta untuk mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan argumen, komponen yang diangkat oleh tulisan ChatGPT sebagai bagian dari pembelajaran analisis teks," terang Gleason sebagaimana dikutip dari laman Fisipol UGM.




(faz/nwy)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads