Benar apa yang dikatakan oleh Buya Hamka bahwa jika manusia mencari kebaikan maka kebaikanlah yang akan ditemukan. Begitu pula sebaliknya, jika mencari keburukan maka keburukan pulalah yang akan kita temukan.
Belajar dari perkataan Buya Hamka tersebut, membuat saya yakin untuk melanjutkan study master di Amerika Serikat (AS) 6 tahun yang lalu, dan kini semakin yakin untuk study S3 di Australia.
Sebagai santri, enam tahun di Pondok Pesantren Al-Junaidiyah Biru di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, dan sebagai alumni Universitas Islam Negeri, tentu banyak yang mempertanyakan keinginan saya untuk lanjut study di AS.
Tidak seperti biasanya, anak-anak muda apalagi santri di daerah saya kebanyakan melanjutkan study di Timur Tengah. Tapi kembali lagi ke perkataan Buya Hamka tadi kita akan dipertemukan dengan apa yang kita cari. Yang saya cari di Amerika Serikat adalah ilmu dan pengalaman, dan ilmu beserta pengalaman pulalah yang saya dapatkan.
Saya tidak akan menceritakan perjalanan kehidupan saya di Amerika dan Australia secara utuh, tapi lebih menceritakan bagaimana kehidupan saya sebagai muslim di Amerika dan di Australia khususnya di bulan Ramadan di mana di kedua negara tersebut saya terlibat sebagai relawan buka puasa bersama.
Menyambut awal bulan puasa di Amerika tidaklah semeriah menyambut bulan Ramadan di tanah air. Di Indonesia, khususnya di kampung saya di Bone, menyambut bulan Ramadan, kami sekeluarga berkumpul di ruang makan, menikmati ayam nasu likku, buras, dan berbagai hidangan istimewa lainya yang tidak ditemukan di hari-hari biasa sambil menunggu pengumuman sidang isbat yang disiarkan televisi.
Di Amerika, tidak ada suara azan dan bedug, tidak ada makanan istimewa, hanya menunggu pengumuman puasa dari group-group WA para mahasiswa Indonesia di AS. Untungnya di kampus saya di Pullman, ada masjid sehingga muslim di dari berbagai negara bisa salat tarawih bersama di masjid tersebut. Saat itu seingat saya, hanya 5 orang mahasiswa Indonesia yang aktif mengikuti salat tarawih dan buka bersama di masjid tersebut, termasuk salah satunya Sekjen PPI Dunia, Mas Zafran.
![]() |
Karena saya mencari mencari masjid dan tempat untuk bisa menjadi relawan buka bersama, maka Allah mempertemukan saya dengan masjid tersebut. Bersama Pak David, mahasiswa S3 dari Surabaya dan putranya, setiap hari saya ke masjid untuk mempersiapkan takjil bersama muslim lain dari berbagai negara. Kami hanya bertugas dalam menyiapkan dan mengatur takjil dan makan malam, karena makanan sudah disiapkan sesuai jadwal yang telah diatur oleh pengurus masjid, biasanya diatur per negara.
Misalnya untuk hari ini giliran teman-teman muslim dari Pakistan, besoknya disajikan oleh teman-teman muslim dari Sudan dan seterusnya. Muslim Indonesia juga mendapatkan jatah dua kali untuk menyiapkan takjil dan makan malam. Kalau tidak salah ingat, saat itu kami menyiapkan rendang ayam dan daging sapi, nasi putih, capcay, dan gado-gado. Pada saat kami mendapatkan giliran masak, teman-teman Indonesia yang non-muslim pun ikut membantu, di situlah saya merasakan betapa indahnya persaudaraan dan toleransi orang-orang Indonesia.
Salah satu keuntungan juga bagi kami yang bertugas sebagai relawan, kami mendapatkan sahur gratis, jadi lumayan bisa menghemat pengeluaran selama bulan Ramadan. Dua tahun merasakan sebagai relawan buka bersama selama di AS meninggalkan kenangan tersendiri bagi saya, seorang anak kampung dari kota kecil di Sulawesi Selatan.
Saat ini saya menempuh pendidikan S3 di Australia, hal yang sama juga saya lakukan: mencari masjid, mencari toko yang menjual makanan halal, dan mencari cara bagaimana menjadi relawan buka bersama di bulan Ramadan. Dan ternyata di Australia, khususnya di Perth tidak sesulit apa yang saya alami waktu di AS. Banyak muslim Indonesia, bahkan ada lembaga khusus umat Islam di Perth, Iqro Center, di sinilah kemudian saya menjadi relawan.
![]() |
Di tengah-tengah kesibukan kuliah, saya bersama relawan-relawan dari Indonesia lainnya setiap hari bertugas untuk mengatur dan menyiapkan buka bersama, mulai dari masak dan menunggu donasi hingga cuci peralatan masak setelah salat tarawih, semua kami jalani. Seperti menemukan keluarga baru, setelah mencuci peralatan masak, kami biasanya tinggal sebentar ngobrol sambil menikmati secangkir kopi, dan kue-kue sisa takjil. Jika ada kelebihan makanan, kami bawa ke rumah untuk sahur.
![]() |
Sekali-kali kami keliling kota Perth. Pengalaman yang juga tidak terlupakan saat didaulat jadi MC saat buka puasa akbar warga Perhimpunan Sulawesi Selatan di Perth bekerjasama dengan Curtin Indonesia Muslim Association (CIMSA) dan KALAM Murdoch, yang diawali dengan kajian Islami, diakhiri dengan tarawih bersama.
Banyak kisah yang tidak sempat tergoreskan, tapi sekali lagi kita akan menemukan apa yang kita cari. Tidak perlu ragu untuk melanjutkan study di manapun, selalu ada jalan untuk mendapatkan kebaikan, dan selalu ada jalan untuk menghindari keburukan. Pilihan itu selalu ada, dan kita yang paling tahu untuk memilih yang terbaik.
*) Samsu Alam Maddussila, Mahasiswa S3 Curtin University, Australia. Anggota PPI Dunia.
*) Artikel ini terselenggara berkat kemitraan PPI Dunia dan detikEdu.
(nwk/nwk)