Sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti UIN Sumatera Utara (UIN SU) dan Universitas Indonesia (UI) mengungkapkan bahwa rokok masih menjadi momok bagi pelajar dan lingkungan.
Penelitian dilakukan di Kota Tebing Tinggi dan Kota Pematang Siantar yang merupakan kota dengan tingkat perokok anak yang tinggi, meskipun sudah memiliki perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok).
Peneliti UIN Sumatera Utara (UIN SU) Rholand Muary dan Abdi Mubarak menjelaskan bila konsumsi rokok masih menjadi momok bagi pelajar di kota Tebing Tinggi dan Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal kedua kota tersebut sudah memiliki Perda Kawasan Tanpa Rokok yang disebut sebagai area yang dilarang untuk berbagai kegiatan merokok termasuk memproduksi, menjual, mengiklankan hingga mempromosikannya.
Faktor yang Mendorong Konsumsi Rokok Para Remaja
Berdasarkan rilis yang diterima detikEdu, Rabu (8/3/2023), hasil penelitian menemukan bahwa berbagai faktor seperti harga rokok yang murah, kesan bahwa merokok itu keren, rokok sebagai simbol pertemanan hingga kedewasaan menjadi hal-hal utama yang mendorong konsumsi rokok di tengah para remaja.
Meski sudah memiliki Perda KTR, iklan rokok dan penjual rokok masih banyak ditemukan di titik-titik sekolah pada tingkat SMP maupun SMA.
Dengan demikian, bisa dilihat bila penegakan KTR oleh pemerintah masih minim. Para peneliti akhirnya merekomendasikan adanya revisi peraturan Walikota KTR dengan memasukan larangan iklan rokok dan sponsorship di area pendidikan.
Lebih jauh, para peneliti berharap adanya revisi Perda KTR yang harus melarang penjual rokok di lingkungan sekolah.
Buruknya Rokok untuk Lingkungan
Tak hanya menjadi suatu hal bagi remaja, rokok juga memiliki dampak secara langsung terhadap lingkungan. Hal tersebut dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan Dr. Al Asyari dari Universitas Indonesia (UI).
Penelitian ini melakukan analisis spasial dari dampak puntung rokok terhadap lingkungan di Indonesia. Menurut peneliti, pencemaran lingkungan dan degradasi lahan berhubungan dengan konsumsi rokok masyarakat suatu negara.
Seorang perokok diestimasikan menyumbang hingga 5 ton CO2 (karbon dioksida) selama hidupnya. Tim peneliti UI menemukan puntung rokok ditemukan paling banyak di pulau Sumatera.
Tak main-main, estimasi berat sampah puntung rokok mencapai 8,5 ton atau menyumbang sebanyak 35,49% dari total sampah puntung rokok di Indonesia dengan 42.457.331 batang dikonsumsi selama setahun.
Mereka juga menemukan bahwa sebaran sampah puntung rokok memiliki hubungan dengan sebaran cemaran logam berat yaitu aluminium (Al), besi (Fe), dan seng (Zn).
Cemaran logam berat memiliki dampak bahaya yang serius bagi makhluk hidup baik tanaman, hewan, hingga manusia apabila cemaran logam masuk ke dalam air minum yang dikonsumsi.
Dengan demikian, para peneliti memberikan rekomendasi penting bagi pengendalian konsumsi rokok di Indonesia.
Di samping mendukung pengendalian konsumsi rokok untuk menghindari dampak negatifnya bagi kesehatan dan lingkungan, diperlukan juga suatu waste management system untuk mencegah pencemaran lingkungan dari puntung rokok.
Sebagai informasi, pemaparan kedua peneliti ini merupakan bagian dari agenda diskusi Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEB UI dengan John Hopkins School of Public Health.
Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Kementerian Keuangan sebagai penanggap dari hasil penelitian.
Perwakilan dari BKF yakni Sarno yang juga analis senior Pusat Kajian Pendapatan Negara (PKPN) BKF mendorong adanya monitoring terhadap pelaksanaan Perda tentang rokok, dibandingkan hanya arahan untuk membentuk Perda KTR.
"Selama ini dorongan hanya untuk bagaimana perda dilaksanakan tapi jarang evaluasi bagaimana kualitas implementasinya," tutur Sarno.
(faz/faz)