Rieke Diah Pitaloka Intan menjadi Doktor Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) tercepat (tanpa cuti) dengan nilai cumlaude. Aktivis dan aktris pemeran Oneng di program komedi Bajaj Bajuri ini menjalani sidang promosi doktor di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI, Depok, Rabu (25/5/2022).
Rieke yang Kelahiran 8 Januari 1974 ini dikenal sebagai aktivis dan aktris pemeran film serta program televisi sebelum terjun ke dunia politik. Salah satu peran paling populer yang dilakoni Rieke yaitu tokoh Oneng di tayangan komedi Bajaj Bajuri bersama Mat Solar, Nani Wijaya, dan Fanny Fadillah.
Rieke 'Oneng' Lulus Doktor Ilmu Komunikasi Tercepat FISIP UI
Di FISIP UI, Rieke menuturkan, dirinya kuliah program doktor dalam waktu 2 tahun 8 bulan 2 hari. Ia menjalani sidang dengan Promotor Dr. Hendriyani, Kopromotor Dr. Eriyanto, M.Si dan Dr. J. Haryatmoko, serta Ketua Sidang Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto. Penguji sidang promosi dokter Rieke terdiri dari Yanuar Nugroho, Ph.D., Dr. Sofyan Sjaf, SPt., M.Si., Dr. Arie Sujito, dan Endah Triastuti, M.Si., Ph.D.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lulus sidang, Rieke Diah Pitaloka mencatatkan namanya sebagai Doktor Bidang Ilmu Komunikasi FISIP UI ke-124 dan doktor perempuan FISIP UI ke-63.
Disertasi Rieke 'Oneng': Kekerasan Simbolik Negara dengan Pseudo Data
Rieke menuturkan, disertasinya berjudul Kebijakan Rekolonialisasi: Kekerasan Simbolik Negara Melalui Pendataan Perdesaan dengan pisau analisis konsep-konsep Pierre Bourdieu dan Nick Couldry.
Ia menjelaskan, disertasinya membongkar kekerasan negara melalui data yang tidak menginformasikan kondisi dan kebutuhan riil warga serta potensi riil perdesaan.
"Praktik ini mengakibatkan monopoli sumber daya publik berada di tangan birokrasi dan atau korporasi. Ruang komunikasi dan partisipasi masyarakat tertutup atas nama teknokrasi yang legal," kata Rieke dalam keterangannya, Sabtu (28/5/2022).
Rieke mengatakan, disertasi tersebut merupakan deskripsi, analisis, dan interpretasi atas perbandingan data perdesaan yang direproduksi institusi negara dengan pendekatan top down dan data yang diproduksi warga dengan pendekatan bottom up.
Temuan penelitian Rieke mendapati, data yang direproduksi negara tidak mengintegrasikan antara data spasial dan numerik. Akibatnya, data tersebut sulit dikonfirmasi, diverifikasi dan divalidasi.
"Hal tersebut menyebabkan kualitas data negara tidak memenuhi prinsip-prinsip data yang aktual, akurat dan relevan (pseudo data). Namun data tersebut tetap dianggap data yang memiliki legalitas sebagai basis data kebijakan pembangun, karena prosesnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan," jelas Rieke.
"Inilah yang disebut dengan kekerasan simbolik negara, kekerasan yang beroperasi dengan cara mengatur, memaksakan, bahkan bisa saja merekayasa pendataan dan data perdesaan. Ketika pseudo data dijadikan basis kebijakan publik, maka dampaknya adalah marginalisasi berkesinambungan oleh negara," imbuhnya.
Disertasi Rieke menggunakan tesa kebijakan rekolonialisasi berperspektif kolonialisme, antitesa kebijakan afirmatif berperspektif dekolonialisme, dan sintesa sistemik kebijakan berbasis data perdesaan presisi.
Bagaimana detikers, bercita-cita meneruskan pendidikan tinggi hingga lulus menjadi doktor seperti Rieke Diah Pitaloka?
(twu/nwy)