Wereng, tikus, hingga kepinding jadi masalah petani warga desa Pepe, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah untuk menjaga hasil sawah dan ladang. Pengasapan, penyemprotan cairan bawang putih, sampai insektisida alami sudah dicoba pakai. Pestisida pun sudah, kendati malah merusak zat hara di lahan. Hasilnya pun masih tidak maksimal. Warga masih kerap mengalami gagal panen bertahun-tahun.
Faiz Kurnia Rahman, pemuda asal desa Pepe, membawa masalah ini ke program Kuliah Kerja Nyata Pengabdian Masyarakat (KKN Abmas). Alumnus Departemen Teknik Instrumentasi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya ini saat itu masih menjadi mahasiswa di semester 8. Bersama adik-adik lintas angkatan di departemen tersebut, Faiz lalu menggagas alat pembasmi hama yang mungkin bisa dipakai petani di desanya sejak awal tahun 2021.
Brian Rafi'u, Dosen ITS dan Pembimbing KKN Abmas di kelompok Faiz menuturkan, niat menggali masalah di pedesaan semula juga menyiasati kondisi di Surabaya yang saat itu kena kebijakan PPKM. Dari situ, Faiz dan teman-temannya mendapati kasus hama di desa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi hampir 70 persen di tahun 2020 itu para petani di sana gagal panen," kata Brian, ditulis Rabu (10/11/2021).
Energi Terbarukan
Brian menuturkan, dari pengumpulan data hama bersama badan pertanian di Purworejo, mereka mendapati serangga terbang dan ulatnya menjadi salah satu penyebab utama kegagalan panen. Dari situ, para mahasiswa lalu membuat inovasi alat pembasmi hama dengan lampu jebakan atau light trap dengan photovoltaic untuk menangkap hama dan ultrasonic wave (gelombang ultrasonik) untuk mengusir hama.
Sebagai informasi, photovoltaic adalah fenomena fisika saat energi cahaya yang mengenai permukaan sel surya akan diubah menjadi energi listrik. Arus listrik akan timbul karena energi foton cahaya datang membebaskan elektron di sambungan semikonduktor untuk dapat mengalir.
Sebelumnya, kata Faiz, warga desanya menggunakan lampu emergency saja yang bertahan hanya 2 jam setelah diisi daya. Pada alat inovasi KKN-nya, mereka membuat alat berupa lampu bertenaga surya yang dilengkapi gelombang ultrasonik.
Brian menuturkan, satu lampu dapat menjangkau lahan seluas 100 meter persegi setelah diisi daya dari panel surya pukul 10-14, sekitar 5 jam ketika cuaca cerah. Prinsipnya, bagian bawah lampu diberi jebakan yang sekiranya cocok dengan karakteristik hama, seperti busa sabun, lem serangga, dan lain-lain.
Faiz menuturkan, penggunaan lampu jebakan merespons pengamatan lapangan, data jurnal, dan wawancara petani yang mendapati aktivitas serangga yang meningkat di waktu perpindahan matahari ke malam hari, sekitar pukul 5.30 petang hingga 8 malam.
Aki pada alat, kata Brian, memberikan suplai otomatis pada sistem kontrol, sehingga lampu bisa menyala otomatis saat cahaya sekitar mulai gelap.
Ketua Kelompok KKN Faiz, Alief Muhammad menuturkan, tinggi alat disesuaikan dengan ketinggian maksimal terbangnya serangga-serangga di sawah dan ladang. Sementara itu, gelombang ultrasonik diubah dari gelombang normal serangga dan tikus ke 40-50 kHz, sehingga komunikasi hama tidak terdengar dan terganggu, lalu menjauh dari area lahan.
Setelah uji skala lab di kampus, kata mahasiswa semester 7 Prodi Rekayasa Teknologi Instrumentasi ITS, mereka menguji alat ke berbagai titik di persawahan bersama petani agar bisa diteruskan penggunaannya oleh warga. Titik pengujian dipilih dari wilayah sawah yang paling banyak dimakan serangga. Alief menuturkan, titik-titik tersebut ditandai dengan banyaknya serangga yang nyangkut di lampu atau cermin jalan.
"Alhamdulillah setelah implementasi selama tiga minggu dan alatnya juga masih di sana, itu positif hasilnya. Jadi alhamdulillah banyak serangga atau hama yang terperangkap di sana. Ketika dihitung itu ada sekitar 90 serangga dalam satu hari," kata Faiz.
Brian menuturkan, pihak badan pertanian di Purworejo juga turut mengidentifikasi jenis-jenis hama yang efektif tertangkap. Salah satunya yaitu hama wereng. Ia menjelaskan, panjang gelombang dari cahaya lampu yang berbeda-beda warna juga dapat menarik serangga yang berbeda-beda. Agar petani tidak kesulitan mencari lampu berbeda warna, sambungnya, maka plastik mika warna-warni bisa dipakai sebagai selubung lampu.
Mitra Industri
Brian menuturkan, karya mahasiswanya tersebut kini dikembangkan bersama mitra industri ekspor edamame di Jember. Pemasangan satu alat photovoltaic untuk enam lampu, kata Brian, dapat menjangkau hampir 1 hektar lahan pertanian.
"Alhamdulillah trial sama GMIT (Gading Mas Indonesia Teguh), anak perusahaan ANJ Group. Kita modifikasi di sana agar satu panel surya bisa memberi tenaga untuk enam dan lebih titik trap," imbuh Brian.
Nah, itu dia kisah mahasiswa ITS membuat inovasi yang dapat membantu petani. Gimana detikers, mau buat apa nih untuk warga sekitar kamu?
(twu/pay)