Perjalanan akademik Irwanda Laory terbilang unik dan berliku. Indeks Prestasi pria kelahiran Makassar ini sempat di bawah dua selama empat semester berturut-turut saat menempuh jenjang S1 di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Namun kini ia berhasil menjadi pengajar bahkan calon profesor di University of Warwick, Coventry, Inggris. Pada I Made Andi Arsana, dosen geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM), di kanal Instagram Live, Irwanda mengawali kisahnya dari Sorong, Papua Barat.
Irwanda menghabiskan masa kecilnya hingga remaja di kota ini. Setelah tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada 1995, ia memilih melanjutkan sekolah di Bandung.
"Zaman saya dulu pendidikan antara Jawa dengan luar Jawa cukup (jauh). Orang tua saya lulus SMP harus keluar (Papua). Karena Sorong itu panas, saya cari kota yang paling sejuk ternyata Bandung," ujarnya di Instagram Live madeandi, Minggu (22/8/2021)
Berbekal nilai ujian akhir yang tinggi, Irwanda berhasil diterima di SMA Negeri 3 Bandung, salah satu sekolah negeri terbaik di Kota Kembang. Adaptasi sistem pembelajaran dan jauh dari orang tua membuat nilai rapornya anjlok di tahun-tahun pertama.
"Tiba-tiba teringat saya jauh-jauh sekolah di Bandung pengen masuk ITB atau negeri. Saya geber di bulan-bulan terakhir. Kayaknya seumur hidup saya paling rajin belajar pada masa itu," katanya.
Ia berhasil lolos UMPTN (sekarang SBMPTN) di Teknik Sipil ITB. Lulus masuk ITB Irwanda mengaku terlalu "lepas". Kebiasaan saat masa SMA kembali terulang.
Semester 1 Irwanda tidak lulus di sejumlah mata kuliah. Begitu juga di semester berikutnya. Tingkat pertama, Indeks Prestasinya hanya 1,7. Hal ini berlanjut di dua semester berikutnya. Dua tahun di ITB, Irwanda mengaku tak pernah mencapai IPK lebih dari 2.
"Kalau dibilang kuliah susah sih sebenarnya tidak. Sepertinya usaha yang dicurahkan untuk belajar itu betul-betul minim. Saya mengaku terlalu banyak main," ujarnya.
Masuk tingkat tiga, ia menyadari tertinggal jauh kala melihat teman-teman seangkatannya sudah mulai mencari judul untuk tugas akhir. Hal ini memacunya untuk mengubah cara belajar.
Membuang rasa malunya, Irwanda harus "turun angkatan". Ia mengulang beberapa mata kuliah dengan adik-adik angkatannya. "Saya buang rasa malu, kalau tidak mengerti tanya ke yang pintar. Sering mendatangi kos teman dan adik kelas yang bisa menjelaskan. Mereka mau melayani dengan baik," katanya.
Pelan-pelan nilainya terkerek naik. Ia berhasil lulus dengan IPK 3,1 dalam waktu enam tahun. Hanya saja ia kesulitan mencari pekerjaan. "Banyak menganggur dan kerja serabutan. Ada penyesalan coba waktu S1 saya lebih rajin pasti kesempatan lebih banyak," katanya.
"Saya punya privilege. Bisa masuk ITB, semua kebutuhan terpenuhi, tapi tidak dimanfaatkan. Jadinya kesempatan mengecil. Pintu tidak banyak yang terbuka."
Berbekal sedikit tabungan dan minta bantuan orang tua, Irwanda akhirnya memutuskan studi lanjut. Ia datang ke sebuah pameran pendidikan dan mendapatkan informasi kuliah di Jerman gratis.
Pada 2005 Irwanda memilih berkuliah di Weimar sebuah kota kecil di negara bekas Jerman Timur dengan harapan biaya hidup yang lebih kecil. Ia berhasil menuntaskan studinya di Bauhaus-Universität Weimar dalam bidang Natural Hazard Mitigation in Structural Engineering.
Ia kemudian ikut program doctoral training di kampus tersebut dan berhasil mendapatkan beasiswa. Hanya saja Irwanda memilih melanjutkan studinya di Ecole polytechnique fédérale de Lausanne, Swiss.
Selanjutnya nyaris kena DO di Swiss >>>
Simak Video "Video: Ada 'Paus Raksasa' Terdampar di Pasar Seni ITB"
(pal/pal)