Kisah Puasa Mahasiswa di Melbourne: Buka Hampir Sama dengan RI & Safari Masjid

ADVERTISEMENT

Puasa di Negeri Rantau

Kisah Puasa Mahasiswa di Melbourne: Buka Hampir Sama dengan RI & Safari Masjid

Trisna Wulandari - detikEdu
Jumat, 16 Apr 2021 20:08 WIB
Kisah puasa mahasiswa di Melbourne
Foto: Dok. Dani/Kisah Puasa Mahasiswa di Melbourne: Buka Hampir Sama dengan RI & Safari Masjid
Jakarta -

Ramadhan 1442 H tahun ini di Clayton, Melbourne, jatuh pada musim gugur. Suhu di sana sekitar 5 derajat celcius.

Imsak di Melbourne sekitar pukul 5.20 pagi. Dani M Isnaini, mahasiswa S2 Kebijakan Publik, Monash University sahur di jalan sekitar pukul 4.30. Dia menuturkan, banyak teman muslim sesama driver membawa bekal dan sahur di jalan sepertinya.

"Sahur tetap di dalam mobil karena dingin sekali," ucap Dani kepada detikcom dan ditulis Jumat (16/4/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dani bekerja paruh waktu sebagai loper koran. Dia mengendarakan mobil sejak pukul 3 dini hari untuk mengirimkan koran ke rumah-rumah dan pertokoan hingga subuh tiba pada pukul enam. Karena itu dia harus sahur di jalan.

Mahasiswa penerima beasiswa LPDP ini mengambil kerja paruh waktu untuk menambah uang saku dari keluarganya selama di Melbourne. Saat diterima di Monash, lulusan Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Administrasi Negara (PKN STAN) ini memboyong istri dan ketiga anaknya ke perantauan.

ADVERTISEMENT

"Dari LPDP ditanggung biaya hidup dan biaya perkuliahan penerima beasiswa saja," kata Dani.

Di sisi lain, karena puasa Ramadhan tahun ini jatuh pada musim gugur, durasi puasanya relatif sedikit lebih singkat, sekitar 12 jam. Durasi puasa di Melbourne lebih singkat sedikit dengan di Jakarta yakni sekitar 12,5 jam.

"Jadwal buka sekarang sekitar pukul 5.50 sore. Penghujung Ramadhan tahun kemarin, musim gugur juga, puasanya 11,5 jam," jelas Dani.

Melbourne terkenal dengan cuaca yang sulit diperkirakan. Kota itu dijuluki kota yang mengalami empat musim dalam sehari.

Perubahan drastis suhu pagi, siang, ke malam juga dirasakan Dani. Kendati demikian, Australia sebagai peradaban Barat yang paling dekat dari Indonesia membuat Dani cukup senang tinggal di sana.

Jurusan kebijakan publik di perguruan tinggi Australia pun juga cukup direkomendasikan. Di samping itu, daerah kampus merupakan area subur dan dirasa lebih asri untuk ditempati. Pertimbangan-pertimbangan di atas memantapkannya untuk berkuliah di Monash.

Semester ini rata-rata perkuliahan Dani dimulai di atas jam 12 siang. Karena mahasiswa jurusannya rata-rata tengah 'memegang' kebijakan publik.

Jadwal kelas terkadang bertepatan dengan waktu sholat. Ketua Monash Indonesia Islamic Society (MIIS) ini menuturkan, ada satu-dua masjid dan mushala di area kampus, tetapi kadang tidak dekat dengan gedung perkuliahan.

Kendati demikian, Dani bisa keluar kelas sebentar lalu shalat di pojok, di teras belakang gedung, atau di taman samping gedung.

"Karena di sini heterogen, relatif ditoleransi, enggak dipertanyakan juga, enggak dihujat juga. Mereka sudah tahu ini berdoa, jadi saya dibiarkan saja. saya enggak menemukan, belum menemukan diskriminasi agama (di sini)," tutur Dani.

Perkuliahan Dani biasa berlangsung hingga malam hari, terkadang pukul 7 atau pukul 10 malam. "Ada satu hari yang pas dengan buka puasa, di kelas jam 5-7," kata Dani.

Beruntung di kelasnya dipersilakan untuk makan dan minum selama membelakangi dosen. Ia dan teman sekelas sesama muslim biasa menyempatkan sedikit waktu untuk makan camilan berbuka.

Di hari-hari lain, Dani biasa berbuka dengan keluarga di rumah kontrakan di daerah Clayton. Sang istri yang berasal dari Magetan biasa membantu putri-putrinya yang berusia 7, 5, dan 3 tahun belajar berbuka puasa.

Dani menuturkan, di daerah tinggalnya di Clayton, Melbourne, toko-toko biasa buka mulai pukul 8 pagi, kecuali McDonald's yang buka 24 jam.

Karenanya, sang istri biasa membekalinya untuk sahur di jalan dengan nasi, sayur, ayam goreng, tempe, dan mendoan, serta sambal.

"Masakan Indonesia pastinya lebih nyaman," tutur pria yang juga berasal dari Magetan, Jawa Timur ini.

Regulasi ketat halal food di Australia bagi Dani menguntungkan keluarganya untuk membeli bahan makan dengan nyaman. Tempat penyembelihan daging pun bersertifikasi halal.

"Justru (di Australia halal food) lebih terjamin," katanya.

Klik pada halaman selanjutnya

Puasa Ramadhan saat Pandemi

Ramadhan 1442 H tahun ini jadi puasa Ramadhan pertama yang dilalui Dani dengan lebih leluasa beribadah di masjid-masjid Melbourne. Puasa tahun lalu, dia harus patuh pada protokol kesehatan selama lockdown diberlakukan dan beribadah di rumah.

"Regulasi lokal (dulu) cukup ketat, ibadah di rumah, enggak bisa cari celah mushola yang masih buka," kata Dani.

Dua bulan lalu, ia dan warga Melbourne lain sudah bisa lebih leluasa berkumpul seperti biasa. "Dua minggu terakhir tidak wajib masker asal social distancing," kata Dani.

Dani bercerita, tarawih sudah boleh dilaksanakan di masjid-masjid dengan protokol kesehatan Covid-19. Ada tempat-tempat yang diperbolehkan dipakai sholat, dengan keterangan waktu jam buka dan jam tutup.

Untuk warga muslim yang beribadah di tempat umum memakai masker, sajadah sendiri, memakai kaos kaki, dan nomor kontaknya dicatat untuk keperluan tracing.

Suasana yang sedikit lebih lega dibanding tahun lalu membuat Dani bisa berkunjung ke masjid-masjid di penjuru Melbourne. Di samping silaturahmi, ia mencoba ibadah tarawih dengan berbagai madzhab.

"Kalau di Indonesia, yang paling banyak Syafi'i. Di sini, tarawih dengan (madzhab) Hanafi paling banyak, lalu ada (madzhab) Hambali yang biasa dilakukan Arab. (Ibadah dengan madzhab) Maliki, saya belum pernah lihat. Jadi Semacam safari Ramadhan," kata Dani tertawa tipis.

Kisah puasa mahasiswa di MelbourneKisah puasa mahasiswa di Melbourne Foto: Dok. Dani

Dani menuturkan, umumnya perbedaan yang ia jumpai yakni pada jumlah rakaat, 20 atau 8. Juga panjang sholatnya. Masjid terdekat juga bisa disambangi dalam waktu 5 menit berkendara, paling jauh 30 menit.

Pemerintah Australia hingga kini belum membuka border untuk mahasiswa internasional. Praktis, mahasiswa muslim dirasa Dani juga berkurang drastis selama dua semester perkuliahan terakhir.

"Jadi sekarang sedikit lebih sepi dibanding biasanya. Tetapi untuk berkumpul dengan mahasiswa lain dari Indonesia, masih bisa," kata Dani.

Dulu sebelum pandemi, bersama Monash Indonesia Islamic Society, ia mengadakan pengajian, pertemuan, buka bersama, dan halal bihalal. Dani menuturkan, penyelenggaraan sholat Ied juga melibatkan mahasiswa.

"Tahun sebelumnya ada kompetisi Ramadhan untuk anak-anak. Mungkin (tahun) ini akhir Ramadhan," kata Dani.

Terkadang ia juga sholat dengan tetangga sesama muslim, di antaranya sesama mahasiswa Monash, mahasiswa Deakin University, dan staf KJRI yang tinggal di seberang rumahnya.

Dani menuturkan, saat berkuliah online tahun lalu, waktu puasa tidak terasa. Kini sedikit berbeda, terlebih ia harus berkendara atau naik bis untuk perkuliahan sekitar pukul 12 siang di dua kampus Monash. Clayton yang dekat rumah, dan Caulfield yang lebih jauh. "Makan tenaga juga. Waktu-waktu kritis itu jam 12-an," ungkapnya.

Di kelasnya ada 4 mahasiswa muslim dari total 40 mahasiswa. Sebagai minoritas, Dani mengaku tertantang untuk bertahan di tengah masyarakat heterogen yang tidak berpuasa.

Anak sulung Dani juga sudah bersekolah di SD dekat rumah, sementara anak keduanya di TK. Selama pandemi, sekolah mereka berlangsung pembelajaran daring. Namun akhirnya Dani dan istrinya sepakat memindahkan anaknya ke Sekolah Dasar Islam Terpadu Baitul Mal, Tangerang dan TK di Tangerang yang juga tengah melaksanakan pembelajaran daring.

Pertimbangan Dani memindahkan anaknya sekolah karena minat anaknya, sekolah yang sama-sama daring, bahasa pengantar, teman, dan guru menjadi pertimbangan anak, istri, dan dirinya untuk menyekolahkan anaknya di Indonesia. Terlebih, Dani yang tengah studi S2 akan segera kembali ke Indonesia.

Di samping sibuk sekolah daring, Dani menuturkan, anak-anaknya juga mulai aktif beribadah di Ramadhan tahun ini. "Ada peningkatan selama Ramadhan, kami dan anak-anak jadi lebih rajin ngajinya, sholatnya. Anak-anak tahun lalu belum lengkap sholat lima waktu, sekarang sudah. Anak pertama sudah puasa penuh, anak kedua setengah hari, anak ketiga tidak, masih balita," tutup Dani.

Kalian punya pengalaman puasa di negeri orang? Kirim tulisan dan foto ke email timeless@detik.com dengan subjek: Puasa di Negeri Orang. Jangan lupa cantumkan nomor yang bisa dihubungi ya.


Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads