Sawit: Tanaman Paling Efisien atau Paling Rakus Lahan?

ADVERTISEMENT

Sawit: Tanaman Paling Efisien atau Paling Rakus Lahan?

Novia Aisyah, detikNews - detikEdu
Kamis, 18 Des 2025 14:30 WIB
Sawit: Tanaman Paling Efisien atau Paling Rakus Lahan?
Kelapa sawit. Foto: Antara Foto/Yudi
Jakarta -

Presiden Prabowo Subianto berharap di Papua ditanami kelapa sawit untuk menghasilkan BBM, juga tanaman lain sebagai penghasil bahan bakar seperti tebu hingga singkong. Prabowo menargetkan semua daerah dapat melakukan swasembada energi dalam 5 tahun ke depan.

"Kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit, juga tebu menghasilkan etanol, singkong cassava juga untuk menghasilkan etanol sehingga kita rencanakan dalam 5 tahun Semua daerah bisa berdiri di atas kakinya sendiri swasembada pangan dan swasembada energi," jelasnya ketika memberikan arahan di depan kepala daerah se-Papua di Istana Negara di Jakarta pada Rabu (16/12/2025), dikutip dari detiknews.

Niat Prabowo telah mendulang sejumlah komentar, seperti dari Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Sultan Najamudin dan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua DPD RI menyebut pihaknya menghormati upaya Prabowo terkait hal ini. Namun, ia juga mengingatkan agar ekstensifikasi sawit dan tebu turut memperhatikan daya dukung lingkungan. Jangan sampai konversi lahan menggeser ruang hidup masyarakat adat dan satwa endemik Papua.

"Ekstensifikasi perkebunan sawit sebaiknya dikembangkan oleh BUMN dan BUMD atau bahkan BUMdes dengan memperhatikan keseimbangan ekologis. Selain itu, penting juga agar melibatkan partisipasi masyarakat setempat dalam industri perkebunan kelapa sawit," ujarnya dalam keterangannya, Rabu (17/12/2025).

ADVERTISEMENT

Sementara, Wakil Ketua Komisi IV berharap arahan Prabowo soal ekstensifikasi sawit di Papua dilaksanakan dengan perencanaan dan analisis dampak lingkungan yang baik. Sehingga, hutan sebagai wilayah seapan air tetap terjaga dan terlindungi.

Alex juga meminta agar jangan sampai kebijakan tersebut bukan justru menjadi malapetaka. Ia juga berharap tak semua wilayah hutan Papua ditanami kelapa sawit.

"Iya, hutan alam peruntukan serapan air tidak boleh dialihfungsikan," pesannya.

Terkait pembukaan perkebunan sawit, salah satu hal yang banyak disorot masyarakat adalah penggunaan lahannya yang mengakibatkan deforestasi. Di samping itu, bagaimana kalkulasi penggunaan lahan dan karakteristik lain dari tanaman sawit?

Minyak yang Dihasilkan Dibanding Lahan yang Dibutuhkan

Diungkap darlam artikel jurnal bertajuk "How much land is available for sustainable palm oil?" oleh John Frederick D Tapia dkk dalam jurnal Land Use Policy Colume 102, Maret 2021, di tengah permintaan industri yang pesat terhadap minyak sawit, ada biaya ekologis sangat besar yang terakumulasi hanya dalam beberapa dekade belakangan.

Dalam penelitian tersebut dikatakan ada banyak perkebunan kelapa sawit yang terkait dengan deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, emisi perubahan penggunaan lahan, dan masalah ekologis lain.

Namun juga dikatakan, penggantian minyak sawit secara total mengakibatkan konsekuensi lingkungan yang lebih buruk lantaran tanaman alternatif butuh lebih banyak lahan.

"Untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat secara berkelanjutan, perkebunan baru apa pun harus berlokasi di lahan yang ramah lingkungan," kata para penulis.

Sawit dan Tanaman Penghasil Minyak Lain

Kelapa sawit atau Elaeis guineensis merupakan tanaman tahunan dengan siklus hidup lebih dari 25 tahun dan jejak lahan yang sangat rendah dibandingkan dengan tanaman lain penghasil minyak tahunan.

Dalam studi berjudul "Oil palm in the 2020s and beyond: challenges and solutions" oleh Denis J Murphy dkk dalam jurnal CABI Agriculture and Bioscience Volume 2, Article number 39 (2021), tanaman kelapa sawit secara global menghasilkan 81 juta ton (Mt) minyak setiap tahun dari sekitar 19 juta hektar (Mha).

Sebaliknya, tanaman penghasil minyak nabati terbesar kedua dan ketiga, kedelai dan rapeseed alias canola, menghasilkan gabungan 84 Mt minyak, tetapi menempati lebih dari 163 Mha lahan pertanian.

Berdasarkan laporan Parlemen Eropa, sekitar setengah dari produk kemasan di supermarket mengandung minyak sawit.

Apabila perbandingannya dengan kedelai, minyak sawit membutuhkan sepersepuluh lahan, sepertujuh pupuk, seperempat belas pestisida, dan seperenam energi untuk menghasilkan jumlah minyak yang sama. Maka dari itu dinilai sangat murah.

Selain itu, minyak sawit sangat tahan terhadap oksidasi, sehingga cocok untuk menggoreng dan memiliki umur simpan yang panjang. Akibatnya, konsumsi minyak sawit telah mengalami peningkatan.

Parlemen Eropa: Perkebunan Baru Tak Selalu Butuh Penebangan Hutan

Indonesia dan Malaysia secara berurutan merupakan negara nomor satu dan dua penghasil sawit secara global. Di sisi lain, Parlemen Eropa menyorot tidak semua pihak dapat merasakan manfaat sawit.

"Masyarakat adat seringkali kekurangan dokumen hukum yang membuktikan kepemilikan tanah mereka, dan terdapat banyak konflik hukum antara perusahaan kelapa sawit yang mendapat konsesi pemerintah di daerah berhutan, dan masyarakat yang telah menggunakan lahan tersebut selama berabad-abad," jelas Parelemen Eropa dalam laporannya yang berjudul "Palm oil: Economic and environmental impacts".

Laporan ini juga menggarisbawahi deforestasi sebagai alasan utama mengapa minyak sawit kontroversial. Produksi yang meningkat pesat berarti ada lebih banyak lahan yang dibutuhkan untuk perkebunan baru.

Pada dasarnya perkebunan baru untuk sawit tidak selalu membutuhkan penebangan hutan. Sebab, kelapa sawit bisa ditanam di lahan yang terdegradasi atau lahan yang sebelumnya dimanfaatkan utnuk tanaman lain.

Meski begitu, dalam studi yang dikutip oleh Komisi Eropa pada 2019 menunjukkan 45% luas lahan untuk perkebunan baru, berada di lahan yang sebelumnya berhutan. Persentase ini jauh lebih tinggi ketimbang tanaman penghasil minyak lainnya seperti kedelai (8%).

Terlebih, dalam laporan ini disebutkan antara 2008-2011 minyak sawit menyebabkan deforestasi seluas 4.300 kilometer persegi di seluruh dunia.

"Studi kedua dari tahun 2019 menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan penyebab deforestasi terbesar di Indonesia, yang menyumbang hampir seperempat dari penebangan hutan permanen di negara tersebut antara tahun 2001 dan 2016," tulis laporan tersebut.

Dampak Ekologis Lainnya

Hal lain yang menjadi perhatian adalah, perkebunan kelapa sawit hanya mendukung seperempat spesies hewan. Ada orang utan dan harimau Sumatera, serta hewan kecil lain yang terancam.

Pada saat bersamaan, pohon kelapa sawit hanya memiliki biomassa di atas permukaan tanah yang kurang dari 20% dibanding pohon-pohon di hutan hujan.

"Sesuai dengan itu, kapasitas lebih rendah untuk menyerap karbon dioksida dari atmosfer," ungkap laporan tersebut.

Pernyataan Parlemen Eropa tersebut senada dengan yang pernah diungkap oleh Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) Prof Budi Setiadi Daryono, MAgr Sc, PhD.

Menurutnya, kawasan perkebunan sawit tidak mampu menjadi habitat satwa liar.

"Hampir 0% keragaman hayati berkembang di perkebunan sawit," ujarnya pada Januari lalu, dikutip dari laman UGM.

Ia mengatakan selama ini dampak perkebunan sawit yang sangat luas dengan model monokultur, rentan meningkatkan konflik satwa liar dengan manusia. Ini berdampak pada berkurangnya populasi satwa liar yang dilindungi oleh Undang-Undang seperti orang utan, gajah, badak, dan harimau Sumatera.

"Flora dan fauna yang dilindungi semakin berkurang karena deforestasi akibat pembukaan perkebunan sawit," jelasnya.




(nah/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads