Presiden Prabowo Subianto berharap daerah Papua ditanam kelapa sawit untuk mengoptimalkan sumber daya yang dikelola masyarakat setempat sekaligus mendorong energi alternatif. Hal ini ia sampaikan dalam acara diskusi bersama kepala daerah se-Papua di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/12/2025).
"Kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit, juga tebu menghasilkan etanol, singkong cassava juga untuk menghasilkan etanol sehingga kita rencanakan dalam 5 tahun semua daerah bisa berdiri di atas kakinya sendiri swasembada pangan dan swasembada energi," ujarnya, dilansir detikNews.
Sebelumnya, Prabowo mengatakan bahwa Papua memiliki sumber energi yang sangat baik. Menurutnya, Papua harus menikmati hasil untuk mereka sendiri daripada hanya energi yang diproduksi di Papua saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga menyampaikan penggunaan tenaga surya atau air untuk sumber energi di daerah-daerah yang sulit. Selain murah, penggunaan tenaga surya dan air bisa menunjukkan kemandirian daerah.
"Ini semua adalah supaya ada kemandirian tiap daerah. Kalau ada tenaga surya dan tenaga air tidak perlu kirim-kirim BBM mahal-mahal dari daerah-daerah lain dan juga nanti," tuturnya.
Meski begitu, penanaman sawit di wilayah Papua menuai sorotan, terutama jika pembukaan lahan dilakukan dengan merusak atau menghilangkan hutan. Terlebih, masyarakat Papua sangat bergantung pada sumber daya alam seperti hutan untuk kehidupan sehari-hari.
Sepenting Apa Tanaman Sawit?
Mengutip World Wide Fund for Nature (WWF), pohon sawit (Elaeis guineensis) merupakan tanaman yang berasal dari Afrika dan dibawa ke Asia Tenggara lebih dari 100 tahun lalu. Mulanya, tanaman ini berfungsi sebagai tanaman hias, tetapi seiring waktu menjadi komoditas bernilai tinggi terutama bagi Indonesia dan Malaysia, yang menyumbang lebih dari 85 persen pasokan sawit global.
Tanaman sawit memiliki hasil minyak yang efisien dibanding jenis minyak nabati lainnya. Ini karena tanaman sawit bisa menghasilkan minyak dalam jumlah besar di lahan yang kecil, hampir sepanjang tahun.
Penggunaan minyak sawit hampir mudah ditemukan di produk yang digunakan sehari-hari. Misalnya seperti deodoran, sabun, sampo, pasta gigi, lipstik, hingga produk makanan donat dan cokelat.
Sayangnya, karena tanaman ini menarik banyak petani termasuk negara dan swasta, membuat perluasan lahannya merugikan alam. Data WWF menunjukkan, tanaman sawit menjadi penyebab utama deforestasi beberapa hutan dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.
Apakah Tanaman Sawit Bisa Ramah Lingkungan?
Sejak produksi sawit dilakukan masif dan berlebihan dengan merusak hutan, solusi sawit ramah lingkungan mulai dicanangkan. Pada 2024, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) atau forum tentang minyak sawit berkelanjutan dibentuk.
"Tujuan RSPO adalah menjadikan minyak sawit berkelanjutan. Kami bekerja di berbagai sektor rantai pasokan, menyatukan banyak pemangku kepentingan untuk mengembangkan praktik berkelanjutan dan membantu menjadikan minyak sawit sebagai kekuatan untuk kebaikan," tulis RSPO dalam situs resminya, sebagaimana dikutip Kamis (18/12/2025).
RSPO dibentuk agar perusahaan melakukan produksi sesuai standar berikut:
1. Menetapkan kebijakan yang tegas untuk menghilangkan deforestasi, konversi ekosistem alami lainnya, seperti lahan gambut, dan pelanggaran hak asasi manusia dari rantai pasokan mereka.
2. Membeli dan menggunakan minyak sawit bersertifikasi RSPO di seluruh operasi mereka secara global.
3. Bersikap transparan dalam penggunaan dan sumber minyak sawit, memastikan mereka mengetahui dari siapa mereka membeli dan dari mana minyak tersebut diproduksi.
Melalui RSPO ini, perusahaan, negara, hingga petani harus memastikan penggunaan minyak sawit (tersertifikasi) yang bersumber secara berkelanjutan di seluruh rantai pasokan mereka, mulai dari penanaman hingga distribusi. Namun faktanya, sertifikasi RSPO dinilai memiliki kelemahan karena banyak ditemukan pelanggaran.
Para kritikus sistem ini juga menyatakan bahwa RSPO lambat dalam menghukum anggotanya atas pelanggaran dan bahwa proses peninjauannya tidak cukup rinci.
Rainforest Alliance mencatat, transformasi produksi minyak sawit perlu digalakkan untuk mencegah dampak negatifnya. Produksi dinilai harus menyeimbangkan kebutuhan manusia sekaligus tetap bisa melindungi lingkungan.
"Kami percaya pada pendekatan kolaboratif di mana semua pihak berbagi tanggung jawab untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Dengan menggabungkan kekuatan di seluruh rantai pasokan-dari petani dan pemasok hingga perusahaan dan konsumen-kita dapat membuat langkah penting menuju sektor minyak kelapa sawit yang lebih berkelanjutan dan bebas deforestasi," tulis mereka dalam situs resminya.
Jadi bisa dikatakan, tanaman sawit bisa menjadi ramah lingkungan dan berkelanjutan asalkan mematuhi standar seperti sertifikasi RSPO. Misalnya dengan metode seperti tumpang sari, menerapkan intensifikasi daripada deforestasi untuk kebun kelapa sawit, kebijakan tanpa pembakaran, menerapkan perlindungan keanekaragaman hayati, hingga mengubah limbah menjadi biogas.
Tanaman Sawit Jadi Penyebab Deforestasi
Melansir earth.org, dilaporkan bahwa sejak 1960-an, Pulau Kalimantan telah kehilangan hutan sekitar 60 persen. Deforestasi akibat perluasan industri sawit mencapai puncak pada 2000-2016 dengan menyumbang 15-30 persen dari deforestasi global.
Hutan yang dirusak untuk ditanam sawit ini telah menghancurkan habitat spesies yang sudah terancam punah seperti orang utan, gajah kerdil, dan badak Sumatera. Tak hanya itu, hilangnya fungsi hutan yang kaya karbon juga menyebabkan jutaan ton gas rumah kaca lepas ke atmosfer sehingga memperparah perubahan iklim.
Dampak ini diperparah dengan kehidupan masyarakat adat yang bergantung dengan hutan, dipaksa terusir. Ditambah lagi, WWF mencatat, adanya eksploitasi pekerja dan pekerja anak di perkebunan sawit.
Sementara sebuah studi yang terbit di IOP Science pada 1 Februari 2019 oleh Kemen G Austin, dan kawan-kawan, telah menunjukkan bahwa pada periode antara tahun 2001 dan 2016, perkebunan kelapa sawit menjadi pendorong tunggal terbesar deforestasi, yang mengakibatkan 23% (90% CI 18%-25%) deforestasi secara nasional.
Pada periode tersebut, deforestasi terbesar pada periode tersebut terjadi di Sumatera disusul Kalimantan dengan lebih dari 40 persen (dari deforestasi nasional).
"Tingkat deforestasi yang tinggi dan terus meningkat selama tahun 2001-2016, yang mengakibatkan emisi GRK yang besar dan membahayakan jasa ekosistem yang berharga. Deforestasi ini sebagian besar terjadi di pulau-pulau besar Sumatera (47% dari deforestasi nasional) dan Kalimantan (40% dari deforestasi nasional)," tulis para peneliti.
Kemudian, studi yang terbit di PNAS pada April 2020, menunjukkan adanya penurunan kemampuan pepohonan di Kalimantan untuk menyimpan karbon. Hal ini terutama hutan-hutan yang berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit.
Peneliti Harvard University, Elsa Ordway dan rekan penulis Greg Asner dari Arizona State University mengatakan, kerusakan hutan hujan di Malaysia dan Indonesia didorong oleh permintaan minyak sawit. Selama ini, kata peneliti, studi masih banyak yang hanya menyorot hutan tapi tidak dengan fakta keberadaan perkebunan kelapa sawit.
"Hutan tropis merupakan bagian yang sangat penting dari siklus karbon global, tetapi terdapat ketidakpastian yang sangat besar mengenai seperti apa bentuknya di masa depan-apakah hutan tropis akan berkontribusi dalam menyimpan dan menyerap karbon dari atmosfer, atau apakah hutan tropis akan melepaskan karbon dioksida ke atmosfer," ujar Ordway, dikutip dari Harvard Magazine.
"Kita berada di titik kritis di mana kita masih berusaha keras untuk memahami bagaimana hutan tropis berfungsi-tetapi di saat yang sama, hutan tropis berubah dengan cepat," imbuhnya.
Sementara itu, di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebelumnya telah menyebutkan bahwa sawit bukan tanaman hutan. Hal ini berdasarkan pada Peraturan Menteri LHK Nomor P.23/2021 tentang sawit bukan termasuk tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Dengan peraturan ini, otomatis pemerintah telah menegaskan bahwa tanaman sawit tidak bisa menggantikan hutan dan fungsinya.
(faz/nwk)











































