Dampak yang Kerap Terlupa Pascabencana, Apa Itu?

ADVERTISEMENT

Dampak yang Kerap Terlupa Pascabencana, Apa Itu?

Novia Aisyah - detikEdu
Rabu, 10 Des 2025 12:30 WIB
Dampak yang Kerap Terlupa Pascabencana, Apa Itu?
Lubok Pusaka porak poranda. Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Jakarta -

Bencana sejatinya tidak hanya menimbulkan kerusakan secara fisik. Ada dampak sosial, psikologis, hingga sistem yang dialami oleh masyarakat terdampak.

Pakar sosiologi pedesaan IPB University, Dr Ivanovich Agusta menyampaikan, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga sangat tergantung pada kecepatan, ketepatan, dan transparansi respons bencana.

"Jika bantuan cepat dan adil, kepercayaan menguat. Jika lambat dan tidak jelas, yang muncul justru frustrasi dan apatisme," terang Dr Ivanovich.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menekankan agar pemulihan masyarakat setelah bencana harus dilakukan menyeluruh melalui penguatan pemulihan psikososial, pengaktifan kembali pranata sosial, pendataan yang transparan dan partisipatif, juga pemulihan mata pencaharian warga, pembangunan sistem mitigasi dan kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas, serta penguatan peran pemerintah desa.

Dr Ivanovich menegaskan bencana tidak cuma soal hari ini.

ADVERTISEMENT

"Bencana bukan hanya soal hari ini, tetapi juga tentang bagaimana kita membangun kembali ketahanan sosial desa untuk masa depan," ucapnya.

Dampak Sosial, Psikososial, hingga Kerekatan Masyarakat

Dr Ivanovich membeberkan dampak sosial pascabencana yang sering luput dari perhatian publik.

Ia memaparkan bencana tidak hanya merusak fisik rumah, tetapi juga sistem sosial yang menjaga kerekatan dan identitas desa. Setelah bencana, masyarakat desa akan mengalami disrupsi mendadak dalam struktur sosial dan relasi antarwarganya.

Salah satu dampak nyatanya adalah dislokasi sosial yaitu hilangnya ruang-ruang komunal seperti balai desa, pasar, musala, hingga jalan yang selama ini jadi pusat interaksi masyarakat. Solidaritas sosial dapat ikut teruji dikarenakan fasilitas dan akses yang rusak.

"Ketika ruang-ruang itu hilang, ritme kehidupan desa terputus. Interaksi melemah, komunikasi terganggu, dan solidaritas sosial ikut teruji," terangnya, dikutip dari IPB University pada Rabu (10/12/2025).

Tekanan Psikososial akibat Bencana, Misalnya Semangat Kerja Turun

Bencana juga dapat menimbulkan tekanan psikososial berupa trauma, rasa takut, dan ketidakpastian masa depan. Situasi ini mengakibatkan menurunnya semangat kerja dan partisipasi warga dalam kehidupan sosial.

Pranata sosial desa juga terganggu karena bencana. Jadwal tanam tani, kegiatan kelompok tani, posyandu, arisan, hingga aktivitas keagamaan dapat terhenti sementara dikarenakan kerusakan wilayah dan keterbatasan akses.

Dr Ivanovich menegaskan terhentinya pranata sosial sangat melemahkan integrasi masyarakat desa. Padahal letak kekuatan sosial warga selama ini ada di sana.

Anak-anak hingga Petani Paling Rentan, Kenapa?

Bencana mengakibatkan anak-anak rentan kehilangan rasa aman dan akses terhadap pendidikan. Dr Ivanovich menyebut anak-anak, perempuan, lansia, dan petani jadi kelompok paling rentan terdampak.

Perempuan juga sering memikul beban ganda. Mereka harus mengurus kebutuhan keluarga hingga memastikan keselamatan anak serta lansia, padahal sumber daya sangat terbatas. Di samping itu, lansia menghadapi keterbatasan mobilitas dan tergantung pada keluarga.

"Petani menanggung dampak terberat dalam jangka panjang akibat lahan rusak, irigasi hancur, ternak hilang, serta berhentinya siklus produksi. Kerentanan petani ini bersifat ekologis sekaligus sosial-ekonomi," ucapnya.

Konflik Sosial karena Bencana

Dr Ivanovich mengatakan di wilayah terdampak bencana, ada potensi munculnya konflik sosial dan kecemburuan dalam distribusi bantuan. Situasi tersebut dikarenakan ketidakjelasan data korban, minim transparansi penyaluran bantuan, dan bantuan yang belum merata serta tidak selalu sesuai kebutuhan masyarakat.

"Dalam situasi bencana, kelelahan psikologis membuat masyarakat lebih sensitif. Ketimpangan kecil saja bisa memicu kecemburuan sosial," ujarnya.

Ia juga mengatakan keterlibatan pemimpin lokal terkadang dipersepsikan negatif jika memprioritaskan kelompok atau kerabat tertentu. Ia menyebut bencana bisa jadi momen tumbuhnya solidaritas, tetapi juga dapat melemahkan kohesi sosial apabila pemulihannya tidak dikelola dengan baik.

Pada awal bencana, gotong royong menurutnya memang biasanya sangat kuat. Namun, dalam jangka menengah, kelelahan kolektif dan ketidakpastian pemulihan bisa melemahkan solidaritas.




(nah/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads