LPEM FEB UI: 6.000-an Lulusan S2-S3 Nganggur dan Sudah Putus Asa Cari Kerja!

ADVERTISEMENT

LPEM FEB UI: 6.000-an Lulusan S2-S3 Nganggur dan Sudah Putus Asa Cari Kerja!

Novia Aisyah - detikEdu
Minggu, 07 Des 2025 17:00 WIB
LPEM FEB UI: 6.000-an Lulusan S2-S3 Nganggur dan Sudah Putus Asa Cari Kerja!
Ilustrasi S2-S3. Foto: Getty Images/iStockphoto/Rattankun Thongbun
Jakarta -

Tidak sedikit penduduk usia produktif di Indonesia yang tidak bekerja dan telah putus asa mencari kerja. Fenomena ini tercatat dalam laporan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).

Laporan tersebut berjudul "Membaca Sinyal Putus Asa di Pasar Kerja Indonesia" dalam Labor Market Brief Volume 6, Nomor 11, November 2025. Kajian ini ditulis oleh Muhammad Hanri, PhD dan Nia Kurnia Sholihah, ME.

Fenomena putus asa cari kerja merupakan isu penting dalam membaca kesehatan pasar kerja di Indonesia. Meski proporsinya kecil dibanding total angkatan kerja, keberadaan mereka memperlihatkan hambatan struktural yang tidak tertangkap indikator konvensional seperti tingkat pengangguran terbuka atau tingkat partisipasi angkatan kerja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam fenomena ini, yang putus asa pun berasal dari berbagai jenjang pendidikan. Lulusan pascasarjana jenjang S2 dan S3 yang putus asa cari kerja di Indonesia mencapai ribuan orang!

Apa Alasan Orang Putus Asa Cari Kerja?

Alasan rasa putus asa dalam mencari pekerjaan ada beragam, yaitu:

ADVERTISEMENT
  • Keyakinan bahwa peluang kerja memang tidak tersedia.
  • Pengalaman kerja dianggap tidak memadai.
  • Keterampilan tidak sesuai kebutuhan pasar.
  • Persepsi mengenai usia yang dinilai tidak menguntungkan oleh pemberi kerja.

Alasan-alasan tersebut memberi isyarat sebagian penduduk yang mempunyai preferensi bekerja justru terhalang kombinasi faktor psikologis, institusional, dan struktural.

Pada kajian intenasional, lembaga seperti International Labour Organization (ILO) dan Bank Dunia menilai kalangan pengangguran yang putus asa atau diistilahkan discouraged workers ini sebagai indikator dini rapuhnya dinamika permintaan dan penawaran tenaga kerja.

Mengapa Tidak Dapat Disepelekan?

Meski tergolong proporsi kecil, golongan ini kerap terkait dengan perubahan kondisi ekonomi yang lebih mendalam seperti:

  • Melemahnya mobilitas naik
  • Keterbatasan layanan penempatan kerja
  • Meningkatnya mismatch antara keterampilan dan lowongan.

Terlebih, ada peningkatan penduduk pengangguran yang putus asa cari kerja pada 2025. Per Februari 2025, ada 1,87 juta orang sudah putus asa. Sementara, per Februari 2024 ada 1,68 juta orang.

Lonjakan proporsi penduduk putus asa dalam setahun ini memperlihatkan ada pergeseran dari posisi mencari kerja ke posisi menyerah. Artinya, ada kehilangan kepercayaan terhadap peluang pasar kerja yang tersedia.

Jumlah Pengangguran Putus Asa Berdasarkan Lulusan

Pada laporan ini disebutkan, ada sekitar 45 ribu lulusan S1 dan lebih dari 6 ribu lulusan pascasarjana (S2 dan S3) yang masuk kategori menganggur dan putus asa.

Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional 2025 oleh BPS dengan olahan LPEM FEB UI, berikut proporsi pengangguran yang putus asa cari kerja jika dilihat dari jenjang lulusan masing-masing:

  • SD atau tidak tamat SD: 50,07%
  • SMP: 20,21%
  • SMA: 17,29%
  • SMK: 8,09%
  • Diploma: 1,57%
  • S1: 2,42%
  • S2 dan S3: 0,35%.

Lebih Banyak Laki-laki Menganggur yang Putus Asa Cari Kerja

Sementara berdasarkan gender, kelompok pengangguran putus asa memperlihatkan laki-laki menyumbang skitar 2/3 dari total (69%). Perempuan sepertiganya (31%).

Komposisi tersebut menandakan keputusasaan mencari kerja lebih melekat pada kelompok yang secara sosial diharapkan sebagai pencari nafkah utama. Tekanan norma gender menempatkan laki-laki dalam posisi lebih rentan saat proses mencari kerja berkali-kali gagal.

Sementara, faktor putus asa pada perempuan kerap bersinggungan dengan keterbatasan struktural yang sudah lama terbentuk seperti:

  • Kurangnya dukungan pengasuhan
  • Norma sosial terkait peran domestik
  • Diskriminasi usia
  • Status perkawinan dalam proses rekrutmen.

Bank Dunia mencatat, perempuan di Indonesia menghadapi hambatan lebih besar dalam transisi dari sekolah ke bekerja. Utamanya karena peluang kerja formal yang ramah perempuan masih terbatas. Sehingga dalam kondisi seperti ini, perempuan yang ingin bekerja, tapi berkali-kali gagal akhirnya bergeser ke posisi menyerah.




(nah/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads